PEMBUKTIAN
EKSISTENSI ALLAH
Menurut
ANSELMUS DARI CANTERBURY
Pendahuluan
Santo Anselmus dari
Cantebury adalah filsuf dan teolog Kristen yang terkemuka pada abad
ke sebelas. Ia adalah orang termasyhur yang memperkenalkan “ontological
argument” untuk membuktikan adanya Allah. Argumen tersebut termuat pada
bagian kedua Proslogion. Selain itu, ia juga menyumbangkan pokok pikiran
tentang filsafat teologi (dan tentunya lebih mengarah pada filsafat
secara umum), yang tidak meninggalkan titik pangkal utama dari penjelasan
secara ontologi.
Anselmus mengetengahkan 2
judul karya yang ia hasilkan untuk membuktikan adanya Allah yakni Monologion
dan Proslogion. Diantara kedua karya tersebut yang lebih menjadi
sorotan dan perdebatan ialah Proslogion, bahkan sampai pada abad
sekarang ini. Beberapa tokoh pemikir yang cukup tertarik dan
mempermasalahkannya karya itu diantaranya ialah Bonaventura, Thomas Aquinas,
Dun Scotus, Descartes, Leibniz, Immanuel Kant, Hegel, hingga beberapa filsuf
analisis bahasa abad XX.
Riwayat Hidup
Anselmus dilahirkan di Aosta Piemont, Italia
sekitar tahun 1033. Ia adalah putera seorang bangsawan comberdia yang
ditandai dengan banyak gejolak dan pancaroba. Ayahnya bernama Gundulph
dan ibunya bernama Ermenberga.[1] Ia
menolak keinginan ayahnya untuk menjadi seorang politikus, dan lebih memilih
menjadi pengembara menyeberangi penugunungan Alpens dan mengelilingi eropa.[2] Pada usia 26 tahun ia masuk biara di Bec,
Normandia, Perancis yang dipimpin oleh Lanfranc.[3]
Anselmus dari cantebury, juga
dikenal sebagai Anselmus dari Aosta dan Anselmus dari Bec atau Santo Anselmus,
adalah pelajar pertama, yang kemudian menjadi seorang biarawan. Ia dipilih
menjadi abbas pada usia 45 tahun. Lima belas tahun kemudian Ia diangkat
menjadi uskup agung Cantebury yaitu pada tahun 1093. Sejak itu kehidupan
Anselmus terus diwarnai oleh pertentangan dengan raja William II dan Henri I
mengenai hak Gereja dan negara. Anselmus menghendaki supaya uskup-uskup dipilih
dengan bebas tanpa campur tangan negara. William II mengancam akan memecat
uskup agung itu sehingga Anselmus melarikan diri ke Roma selama tiga
tahun. Di tempat pengasingan itulah Ia menulis sebuah buku terkenal yang
berjudul “ Cur Deus Homo?” (Mengapa Allah Menjdi Manusia?).
Anselmus kembali ke Inggris ketika Henry I naik
tahta. Tapi segera disusul oleh perselisihan lagi Henry I menuntut hak atas
pengangkatan uskup dan abbas. Anselmus mengungsi ke Roma untuk yang kedua
kalinya.[4]
Anselmus terkategori orang yang memenuhi syarat sebagai seorang skolastikus.[5]
Iman
Mencari Kebenaran
Menurut beberapa penulis bibliografy
para filsuf, Anselmus mencoba untuk melanjutkan beberapa pokok pemikiran dari
sang pendahulunya yakni Santo Agustinus. Anselmus adalah orang yang pertama
mengemukakan Argument Ontologis mengenai keberadaan Allah dan
merupakan seorang tokoh yang sangat terkenal pada abad pertengahan. Anselmus
juga seorang yang memiliki pendirian yang kuat untuk melawan aliran
anti-filsafat di jamannya. Karena Ia meyakini filsafat mampu memberikan
dasar-dasar yang terdalam mengenai hakikat manusia dan dunia.[6]
Anselmus menggunakan cara berpikir rasional untuk memahami iman Kristen,
yang selalu dianggap sebuah aliran skeptisisme dan sering disangsikan
kebenarannya. Anselmus mengutarakan pendapatnya dengan mengandalkan rasio.[7]
Dengan cara berpikir rasional pemahaman iman yang essential merupakan
suatu kewajiban keberagamaan. Ia beranggapan bahwa:
“I do not attempt, O Lord, to penetrate thy
profundity, for I deem my intelect in no way sufficienst there into, but
I desire to understand in some degree they truth, which my heart believes and
loves. For I do not seek to understand, in order “That I may
believe but I believe, that I my understand. For I believe this too, that
unless I believed, I should not understand”[8]
Salah satu gagasan yang
dikembangkan dan digunakan oleh Anselmus dalam berteologi dan berfilsafat ialah
pemikiran dialektika. Anselmus percaya dengan cara ini pencarian akan
suatu pengertian dapat dicapai dengan baik. Pengembangan pemikiran ini
tidak dimaksudkan hanya dengan akal (rasio) saja yang mampu atau bisa
menghantar setiap orang untuk percaya dan yakin, akan tetapi untuk lebih
berpikir kritis akan suatu kebenaran yang sungguh benar. Hubungan antara iman
dan ilmu pengetahuan dirumuskan oleh Anselmus dengan: fides quaerens
intellectum (iman berusaha untuk mengerti). Melalui iman setiap orang
dihantar kepada suatu pengertian. Iman dijadikan sebagai dasar memahami segala
sesuatu di atas rasio. Atau secara personal: credo ut intelligam (aku
percaya untuk mengerti), ini dimaksudkan agar dengan iman setiap orang dibantu
untuk bisa sampai pada suatu pengertian yang terdalam.
Pemikiran yang dikembangkan
oleh Anselmus kurang lebih sama dengan pemikiran Agustinus dan Johanes Scotus
Eriugena. Anselmus mengemukakan bahwa kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya
terlebih dahulu, karena akal manusia tidak mampu untuk menyatakan suatu
kebenaran itu. Wahyu yang diturunkan merupakan suatu kebenaran yang mutlak.
Dalam hal ini juga, Ia menyatakan bahwa Iman bersifat bebas dan tidak terikat,
serta tidak memerlukan dasar-dasar akali. Meskipun setiap orang memiliki
kepastian karena iman, akalnya dengan sendirinya akan didorong oleh iman untuk
menyelami kebenaran-kebenaran iman lebih lanjut.
Iman harus menjadi dasar segala-galanya.
Dengan demikian, suatu kebenaran yang terkandung di dalam Kitab Suci, mampu
dijelaskan secara rasional serta mendalam. Di percayai bahwa dari iman, orang
naik sampai kepada pengetahuan, yaitu pengetahuan yang dilengkapi dengan
pembuktian. Namun, pada pandangan itu diharapkan kepastian iman tidak
dimengerti akan semakin bertambah. Iman juga diharapkan menjadi lebih mendasar,
utuh dan melekat pada diri manusia yang adalah ciptaan Allah. Perbedaannya
ialah iman diberikan dengan perantaraan wahyu, sedangkan pengetahuan akali
diberikan dengan perantaraan penerangan Ilahi. Iman telah memberi kepada Orang
Kristen suatu pandangan yang mendalam atas dunia. Akan tetapi iman yang
mendalam, yang disertai pengetahuan akali, memberi suatu pandangan yang lebih
mendalam lagi atas segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan, baik atas Allah,
manusia maupun dunia.
Menurut Anselmus, pengertian-pengertian umum atau
universalia bukan hanya sebutan saja, akan tetapi juga memiliki realitas.
Universalia benar-benar nyata, bebas daripada segala yang individual, yaitu
berada sebagai idea-idea di dalam Allah. Pemikiran mengenai akali, maupun
pandangannya tentang universalia dikaitkan dengan pandangannya tentang
bukti-bukti akan adanya Allah, yang mana, iman mendasari kepastian keberadaan
“Allah” yang menuntut suatu pembuktian.
Pendirian Anselmus tentang hubungan antara rasio
dan iman disingkatkannya dengan semboyan “Credo ut intelligam” (saya
percaya supaya saya mengerti). Maksudnya ialah bahwa melalui kepercayaan
kristiani orang dapat mencapai pengertian lebih mendalam tentang Allah, manusia
dan dunia.
Pembuktian adanya Allah
Anselmus mencoba memberikan dua cara untuk
membuktikan bahwa Allah memang ada. Pertama, ialah ketika ia melihat
adanya hal-hal yang terbatas, yang mengandaikan adanya hal-hal yang tidak
terbatas. Dengan begitu ia hendak mengatakan bahwa, akal manusia hanya mampu
untuk sampai kepada pemahaman yang biasa-biasa saja, tidak sepenuhnya mendalam
dan sungguh-sungguh mendasar. ada banyak hal yang tidak mampu kita jelaskan
begitu saja dengan pengetahuan yang kita miliki, karena itu ia mendasarkan
adanya hal-hal yang tidak terbatas. Selain itu, Ia juga mengatakan adanya Yang
baik secara relatif, dengan ini mengandaikan adanya sesuatu yang baik secara
mutlak. Menurut dia, Seandainya tiada hal yang baik secara mutlak mustahil ada
sesuatu yang baik secara relatif. Demikian juga halnya dengan yang besar secara
relatif mengandaikan juga adanya hal-hal yang besar secara mutlak. Beradanya
“yang ada” secara relatif mengandaikan beradanya “ yang ada secara mutlak, yakni
Allah.
Cara yang kedua, yang digunakan oleh
Anselmus untuk membuktikan adanya Allah ialah penguraian. Menurut Anselmus, apa
yang kita sebut Allah memiliki suatu pengertian yang lebih besar dari segala
sesuatu yang bisa kita pikirkan. Apabila kita berbicara tentang Allah, yang
kita maksudkan ialah suatu pengertian yang lebih besar dari pada apa saja yang
dapat kita pikirkan. Dengan begitu pengertian “Allah” yang ada di dalam rumusan
pemikiran kita adalah lebih besar daripada apa saja yang ada di dalam pikiran.
Apa yang di dalam pikiran ada sebagai yang tertinggi atau yang lebih besar,
tentu juga berada di dalam kenyataan sebagai yang tertinggi dan yang terbesar.
Teori atau cara yang kedua yang dipaparkan oleh
Anselmus diatas, tidak sepenuhnya bisa digunakan untuk semua tingkat pemikiran.
Teori ini ingin mengutarakan bahwa Allah yang dipahami berbeda dengan
pengertian-pengertian ataupun pemahaman yang lain. Tidak dipahami seperti suatu
pemahaman yang semu, seperti pulau yang terindah yang dipikirkan orang atau
dikhayalkan, belum tentu benar-benar ada dalam kenyataan. Hanya pengertian
tentang Allah sebagai tokoh yang jauh lebih besar daripada segala sesuatu
itulah yang menurut adanya realitas yang sesuai dengan pengertian itu.
Jalan
pikiran Anselmus dalam bukti ini dirumuskan secara singkat adalah sebagai
berikut:[9]
- Kita semua satu bahwa dengan nama “Allah” dimaksudkan hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi (“id quo nihil maius cogitari potest”). Dengan perkataan lain, dengan nama “Allah” kita maksudkan hal yang lebih besar dari hal lain yang dapat dipikirkan.
- Tidak mungkin hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi, hanya berada dalam PEMIKIRAN saja, karena hal yang ada dalam pemikiran saja bukanlah hal yang terbesar, sebab lebih besar lagi ialah berada dalam KENYATAAN. Supaya
- Pada suatu kesimpulan bahwa Allah tidak hanya berada dalam pemikiran manusia, tetapi juga dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh ADA.
Refleksi
Kerap kali keberadaan Allah sebagai
pencipta dimengerti, dan hanya dapat dipahami melalui IMAN dan WAHYU
Ilahi yang ada di dalam KITAB SUCI. Tidak mengherankan, banyak orang bergelut
di dalam ilmu pengetahuan untuk membuktikan siapa itu Allah. Tidak jarang
pula umat beragama menafikan peran rasio (akal budi) manusia, seolah-olah akal
budi tidak berdaya untuk membuktikan adanya Allah.
Anselmus adalah salah seorang “terpelajar”,
seorang Kristen yang mencoba memasukkan logika dalam pelayanan iman.
Kendatipun, ia mengerti tentang alkitab, namun ia hendak menguji kekuatan
logika manusia dalam upayanya membuktikan doktrinnya. Ia selalu mendasarkan
iman dalam segala sesuatu. Argumentasi ontologisnya (informasi yang dapat
mengarah ke penemuan sesuatu yang penting) mengajak kita untuk
percaya kepada Allah. Singkatnya, ia menyatakan bahwa rasio manusia
membutuhkan ide mengenai suatu zat yang sempurna yaitu “Allah”. Oleh
sebab itu, zat tersebut harus ada.
Santo Anselmus juga mau mengajarkan kepada kita
agar ilmu pengetahuan yang kita peroleh henndaknya menjadikan kita lebih
bijaksana. Dengan “berilmu” kita diingatkan untuk selalu rendah hati dan takwa.
Ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk mampu menjelaskan iman kita kepada Allah
sebagai pencipta alam semesta dan manusia.
Bibliografi
Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat,
Yogyajarta: Kanisius, 1998.
Copleston, P., A History of Philosophy Vol.
2, New York, Garden City: Image Books, 1962.
Edwards, Paul ed in chip., The Encyclopedia
of Philosophy Vol. I+II , New York: Mac Millan publishing Co., Inc. and
The Free Press…, 1972.
H. Anderson, Gerald., Biographical Dictionary
of Christian Mission, New York: WMB Eerdmans Pubilshing Co., 1999.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah FilsafatBarat
1, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
M. J., Charlesworth, (trans) (ed)., St.
Anselm’s Proslogion, Notre Dame, University of Notre Dame Press,
tahun 2003.
Sudiarja, A., Subanar, G. Budi., Sunadi, St.,
Sarkini, T., Karya lengkap Driyarkara, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum,
2006.
Willem, F.D., Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.
[1] F. D. Willem, Riwayat Hidup Singkat
Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm.
7.
[2] Charlesworth, M. J., trans. and ed. St.
Anselm’s Proslogion, (Notre Dame, University of Notre Dame
Press, 2003), hlm. 9.
[3] Gerald H. Anderson, Biographical
Dictionary of Christian Mission, (New York: WMB Eerdmans Pubilshing Co.,
1999), hlm. 23.
[4] Gerald H. Anderson, Biographical
Dictionary of Christian Mission, (WMB Eerdmans Pubilshing Co., New York,
1999), hlm. 23.
[5] Dr.
Harun Hadiwijono, Sari sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta :
Kanisius, 1990), hlm 94
[6] Charlesworth,
M. J., trans. and ed. St. Anselm’s Proslogion, (Notre Dame, University of Notre Dame Press, 2003), hlm. 9.
[7]
Paul Edwards, ed in chip, The Encyclopedia of Philosophy Vol. I+II
(New York: Mac Millan publishing Co., Inc. and The Free Press…, 1972), hlm.
128-129.
[8] P.
Copleston, A History of Philosophy Vol. 2, (New York, Garden City:
Image Books, 1962), hlm. 177.
[9] K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyajarta: Kanisius, 1998),
hlm. 26-27
Dengan semangat, ANDA pasti bisa. Bersemangatlah dengan hati, agar semangat anda tetap dijalan kebenaran.
BalasHapus