Sabtu, 28 April 2012

Emalera wulan ina tana eka


EKSISTENSI ALLAH MENURUT MASYARAKAT LAMAHOLOT
(LERA WULAN- TANA EKAN)

I. PENDAHULUAN

Pengalaman beragama setiap daerah berbeda karena latar budaya yang beraneka ragam itu mempunyai cara pengungkapan yang berbeda-beda tentang wujud tertinggi atau yang Ilahi. Cara serta simbol yang dipakai memang berbeda-beda, namun esensi dari pengungkapan itu ialah bahwa “yang Ilahi” itu adalah kudus, suci dan sakral[1]. Ketiga kata inilah yang paling mendekati ciri khas pengalaman beragama.
Sebutan atau nama yang dikatakan pada sesuatu itu sungguhlah bermakna. Demikian pun masyarakat Flores Timur yang menyatu dalam satu rumpun budaya Lamaholot[2] mengenali Allah sehingga sampai pada pemahaman mereka akan adanya Allah dengan sebutan ”Lera Wulan Tana Ekan ”.
Ungkapan ini sungguh mendarah daging dalam diri setiap warga Lamaholot, yang diakui sebagai ”Yang Kudus, Suci dan Sakral”. Dengan ungkapan ini, pemahaman mereka tentang Allah itu penuh rahasia dan tidak terbatas kesempurnaannya. Namun yang ”Ilahi” itu mereka alami di dalam dan melalui pengalaman tentang dunia yang mereka kenal. Yang Ilahi dapat kita alami melalui hal-hal alamiah atau duniawi namun sifatnya tidaklah duniawi. Ini terbukti dari sifat hormat dan sembah sujud terhadapNya.
Berdasarkan kenyataan inilah kami mencoba menggambarkan dan menganalisa secara kritis mengenai EKSISTENSI ALLAH BAGI MASYARAKAT LAMAHOLOT dalam ungkapan “LERA WULAN TANA EKAN”.
Kami pun menyadari tulisan kami ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan hati yang terbuka, kami menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman.

 II. SEKILAS LETAK GEOGRAFIS KABUPATEN FLORES TIMUR
            Kabupaten Flores Timur terbentuk bersamaan dengan terbentuknya propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang adalah hasil pemekaran dari Sunda Kecil, sekitar 50 tahun yang lalu. Seperti yang digambarkan oleh namanya, kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Flores. Awalnya, kabupaten ini terdiri dari daratan Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Lembata. Beberapa tahun yang lalu, Lembata menjadi Kabupaten sendiri. Walaupun demikian, kesatuan keempat daratan ini masih terasa sampai saat ini.
Ibu Kota kabupaten Flores Timur adalah Larantuka, sebuah kota pelabuhan kecil sejak abad XV yang terletak pada 8,4 derajat lintang selatan dan 123 derajat bujur timur. Sisi selatan kota ini langsung turun ke laut, sedangkan utara langsung mendaki Gunung Mandiri. Masyarakat yang mendiami kabupaten ini adalah masyarakat Lamaholot hampir di semua desa dan kampung di kabupaten ini. Sedangkan Larantuka, kota kabupaten, sebagian besar didiami oleh masyarakat Melayu. Selain di kota Larantuka, masyarakat terakhir (Melayu) ini berdiam pula di Desa Wureh dan Desa Konga.

III. LERA WULAN TANA EKAN
Sebelum mengenal agama-agama besar seperti; Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha, orang Lamaholot sudah mengenal Tuhan. Agama suku dan agama asli mengakui adanya Tuhan yang diyakini secara turun-temurun sejak zaman purba dan masih diakui sampai sekarang. Orang Lamaholot meyakini bahwa keberadaan manusia serta alam semesta merupakan hasil ciptaan dari suatu kekuatan Mahabesar dan Mahadahsyat yang berada di luar dirinya.[3] Orang lamaholot menyebut kekuatan itu dengan nama Lera Wulan Tana Ekan.
            Kepercayaan masyarakat Lamaholot mengenai ungkapan Lera Wulan Tana Ekan ini berkaitan erat dengan pengalaman hidup mereka yang selalu berhubungan langsung dengan alam, maka untuk mengetahuinya secara lebih mendalam, ungkapan tersebut dijelaskan dalam empat kelompok besar, yakni apa itu Lera Wulan?Apa itu Tanah Ekan? Apa hubungan antara Lera Wulan dan Tana Ekan? Serta apa sifat-sifat dari Lera Wulan Tana Ekan itu sendiri.

 3.1 Lera Wulan
            Secara harafiah Lera Wulan terdiri dari dua kata yakni; Lera yang berarti Matahari, dan Wulan yang berarti Bulan. Penamaan ini mempunyai pemahaman bahwa Sang Ilahi itu adalah “Yang Maha Tinggi”. Ia berada di atas segala ciptaanNya, pemberi terang dan kehidupan yang tak terbatas. Hidup manusia ada dalam lindungan dan penyelenggaraan-Nya. Dasarnya matahari dan bulan adalah yang menyinari bumi dan memberi kehidupan pada manusia dan segala tumbuhan yang menjadi sumber makanan manusia.[4]
            Matahari dan Bulan juga menjadi patokan perhitungan waktu setiap hari, karena masyarakat Lamaholot waktu itu belum mengenal alat pengukur waktu seperti jam. Bagi mereka bulan merupakan sarana perhitungan musim yang tepat untuk menghitung waktu bagi penanaman tumbuhan, perhitungan hari baik dan tidak, perhitungan pasang-surut air laut untuk pergi mencari ikan serta perhitungan untuk mengadakan ritus-ritus untuk menghormati Lera Wulan-Tana Ekan atau “wujud tertinggi”. Tanpa matahari dan bulan kehidupan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini tampak dalam ungkapan “ Lera Wulan nein morit kame” (matahari dan bulan memberikan kehidupan kepada kami).[5]
Lera Wulan adalah benda langit (matahari dan bulan) yang berada jauh di tempat tinggi, dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Sesungguhnya, hal ini mengandung makna bahwa Tuhan itu berada di tempat yang tinggi, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia dan mesti diberi tempat tertinggi di atas segala sesuatu yang lain. Dalam percakapan sehari-hari, bila orang menyebut Lera Wulan, orang selalu menunjukkan jarinya ke atas langit. Penunjukan jari ini melambangkan bahwa Tuhan itu berada di atas atau berada di tempat yang tinggi.
Lera Wulan juga merupakan sumber terang dan ia adalah terang itu sendiri. Ia menerangi bumi dan alam semesta. Tanpa terang yang dipancarkan oleh matahari pada siang hari dan bulan pada malam hari, kehidupan di bumi tak dapat berjalan dengan baik. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa Tuhan itu adalah sumber kehidupan.[6] Dari langit, turunlah berkat bagi kehidupan di dunia. Berkat itu hadir dalam bentuk hujan, angin, embun, pergantian musim, dan lain sebagainya. Kedudukan Tuhan yang tinggi ini, mengandung makna bahwa Tuhan adalah pemberi hidup sekaligus menjadi penyelenggara kehidupan di bumi. Dialah penguasa langit dan bumi, penguasa alam semesta.

 3.2 Tana Ekan
            Secara harafiah Tana Ekan terdiri dari dua kata yakni Tana berarti “tanah” dan Ekan berarti “lahan”. Jadi Tana Ekan berarti bumi atau jagat raya. Bumi adalah tempat di mana manusia berpijak dan melangsungkan hidupnya. Tanah adalah bagian kehidupan mereka yang tak dapat dipisahkan. Boleh dikatakan tanpa bumi atau Tana Ekan manusia takkan pernah ada. Manusia hanya ada kalau ada bumi, karena bumi adalah tempat di mana manusia berpijak.[7]
            Menurut pemahaman masyarakat Lamaholot, Tana Ekan juga memberikan perlindungan kepada mereka karena jika bumi itu marah maka semua yang ada akan mati, misalnya; jika terjadi gempa atau bencana alam lainnya. Karena itu mereka selalu mengadakan ritus-ritus untuk menjaga dan menghormati Tana Ekan. Pemahaman akan perlindungan Tana Ekan ini terdapat dalam ungkapan “Tana Ekan liko lapak kame” (Tana Ekan memberikan perlindungan kepada kami).[8]
Tana Ekan adalah tempat hidup semua makhluk ciptaan manusia yang berada dekat dan bersama manusia. Simbolisasi ini mengandung makna bahwa selain berada di tempat yang tinggi dan jauh dari manusia, tapi Dia juga dekat. Dia tak terjangkau oleh indera manusia tetapi menjangkaui manusia sebab keberadaan-Nya dekat dan bersama manusia. Tana Ekan menerima berkat yang turun dari langit. Dia juga menyediakan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan manusia.[9]

 3.3 Hubungan antara Lera Wulan dan Tana Ekan (Lera Wulan-Tana Ekan)
            Ungkapan Lera Wulan dan Tana Ekan ini tak dapat dipisahkan atau tak dapat berdiri sendiri. Keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam pemahaman inilah maka simbol atau cara membahasakan Wujud Tertinggi tidak hanya disebut Lera Wulan atau Tana Ekan sendiri atau secara terpisah-pisah, tetapi keduanya harus disatukan agar memiliki makna yang utuh mengenai Wujud Tertinggi itu. Ungkapan Lera Wulan Tana Ekan ini tersirat juga makna imanensi dan transeden sang Ilahi. Bagi masyarakat Lamoholot Allah selain jauh (transenden) dan Mahadahsyat tetapi juga dekat dan akrab dengan manusia (imanen).[10]
            Transenden itu terdapat dalam ungkapan nama Lera Wulan sebagai matahari dan bulan yang ada jauh di atas bumi yang dimengerti bahwa matahari dan bulan tak henti-hentinya memberikan sinarnya kepada manusia. Mereka (matahari dan bulan) tak pernah berhenti memberikan kehidupan bagi manusia meskipun berada di tempat yang jauh. Hal ini dapat disimak dalam ungkapan ”Allah teti kowa lolon, niku kame maan sare-sare (Allah yang berdiam di atas awan, semoga melihat kami dengan baik-baik). Ketransendenan Allah ini juga menunjukkan kemahadahsyatan Allah yang tak terhampiri, tapi dapat dialami dan dirasakan. Kedahsyatan Allah itu terdapat pada matahari yang dapat memberikan panasnya yang sangat panas sehingga membawa kematian bagi segala kehidupan di bumi ini.
            Allah dalam pemahaman masyarakat Lamaholot selain dilihat sebagai Allah yang jauh dan Mahadahsyat, juga Allah itu begitu dekat dengan manusia. Kedekatan dan keakraban Allah dengan manusia itu terdapat dalam ungkapan nama Allah Tana Ekan. Tanah yang menjadi tempat pijakan manusia, tempat manusia melangsungkan hidupnya, tempat manusia mencari dan mengusahakan kehidupan adalah simbol Allah yang dekat dan selalu menyediakan segala sesuatu demi hidup manusia. Manusia menjadi begitu dekat dengan Allah dan dapat berkomunikasi denganNya lewat memelihara alam dan lingkunganNya. Oleh karena itu, alam sangat dihormati oleh mereka. Mereka menganggap bahwa alam dengan segala isinya merupakan pengejawantaan wujud tertinggi. Mungkin secara kritis kita mengatakan bahwa pemahaman masyarakat Lamaholot itu jatuh pada pantheisme (paham yang mengatakan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan).
            Lera Wulan Tana Ekan telah menjadi simbol dari pencipta dan penyelenggara kehidupan, kekuatan terbesar, dan terdahsyat. Lamaholot berkeyakinan bahwa Lera Wulan Tana Ekan berada dengan sendirinya dan tak berkesudahan. Keyakinan ini nampak dalam ungkapan: Bego naen puken take-weli ekan miten pai. Bego rupan tala ladon, Lera gere (munculnya tak bersumber, dari alam gelap, munculnya bagai cahaya bintang, matahari terbit). [11]

3.4 Sifat-Sifat Lera Wulan Tana Ekan
Setiap aktivitas orang-orang Lamaholot senantiasa terpaut dengan sifat-sifat Tuhan atau Lera Wulan Tana Ekan. Adapun sifat-sifat Tuhan dalam nuansa ke-Lamaholotan itu antara lain sebagai berikut:
a) Ehan Tou (Tuhan Maha Esa)
Orang Lamaholot memahami Lera Wulan Tana Ekan sebagai Mahapencipta satu-satunya. Dia yang Maha Esa telah menciptakan alam semesta termasuk manusia. Manusia diciptakan oleh Dia yang Maha Esa dan diutus oleh-Nya untuk memanfaatkan dan merawat alam semesta. Oleh karena itu, sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada yang Maha Esa itu, manusia tidak diperkenankan menyembah yang lain selain kepada yang Maha Esa itu.
Hanya Dialah yang patut disembah oleh karena keEsaan, kebesaran dan keagunganNya (kaka belen ama yoga atau kaka belen ama blolan). Hanya namaNyalah yang patut dimuliakan (Lera Wulan narane poton pana, Tana Ekan makene sogan gawe). Manusia harus menjunjung tinggi kebesaranNya dan merendahkan diri di hadapanNya (hunge baat-tonga blolo koon Lera Wulan Tana Ekan. Lugu rere-maan onem sare-moon Lera Wulan Tana Ekan).



b) One Naen Waibanu Matik Naen Selan Tapo (Tuhan Mahakasih)
Orang Lamaholot sadar dan tahu bahwa Tuhan telah menyerahkan seluruh alam ciptaan-Nya, bumi dan segala isinya, kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Betapa besar belas kasih Tuhan kepada manusia.
Atas dasar sifat Mahakasih itu,  manusia selalu mengadakan hubungan dengan Lera Wulan Tana Ekan untuk memohon keselamatan, kesejukan dan kedamaian. Permohonan ini patut dialamatkan kepada-Nya sebab Lera Wulan Tana Ekan adalah sumber kesejukan, keselamatan dan kedamaian (gelete, gluor-gelete pelumut-gelete owa). Dialah tempat manusia memperoleh kesehatan yang baik, hasil kerja yang baik, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Lera Wulan Tana Ekan menjadi tempat manusia mencari perlindungan (liko lapak) karena Dialah satu-satunya pelindung agung bagi manusia dan seluruh alam (bliko ina, blapak ama). Pada Dialah manusia mengharapkan agar segala bencana dan malapetaka, baik berasal dari alam maupun karena ulah manusia dan tipu daya setan dapat di jauhkan.
Lera Wulan-Tana Ekan juga menjadi tempat manusia menyampaikan keluh kesahnya (prudut proin). Segala suka dan duka serta semua kebutuhan hidup manusia di sampaikan kepadaNya agar Ia menurunkan pertolongan. Dalam Dia dan bersama Dia, segala kesulitan bisa diatasi.
            c) Hube Naen, Galat Kae (Tuhan Yang Mahakuasa)
            Hidup dan mati manusia berada di tangan Tuhan. Kapan, di mana dan bagaimana kematian mendatangi seseorang, hanya Tuhanlah yang tahu dan hanya Dialah yang mengaturnya. Dia menjadi awal dan akhir dari kehidupan seorang manusia.
            Atas dasar kepercayaan bahwa karena Tuhan yang memberi hidup, maka ketika seseorang meninggal, orang-orang Lamaholot mengatakan Lera Wulan guti apan atau Lera Wulan mayaro (Tuhan mengambilnya kembali atau Tuhan memanggilnya kembali).
            d) Noon Tilun Noon Matan (Tuhan Mahatahu)
            Tuhan mengetahui pikiran, perkataan dan perbuatan manusia. Ada dua konsekuensi dari kemahatahuan Tuhan ini; pertama, Dia akan memberikan ganjaran atau pembalasan atas perbuatan baik manusia. Manusia yang berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan akan memperoleh rahmat dariNya. Kedua, atas perbuatan tidak baik, Tuhan akan memberikan hukuman atau kutukan yang langsung dialami manusia dalam hidupnya dan di akhirat nanti. Rahmat atau anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia yang baik hidupnya nampak dalam hal memperoleh penghasilan yang baik-murah rezeki, kesehatan yang baik, umur yang panjang, keturunan yang berhasil, dan lain sebagainya. Sedangkan hukuman atau kutukan dari Tuhan nampak dalam hal-hal seperti; tidak memperoleh penghasilan yang baik, sakit, tidak dikaruniakan keturunan, ditimpa bencana alam, serangan hama, kematian yang tidak wajar, dan lain sebagainya.[12]

IV. PEMAHAMAN ORANG LAMAHOLOT MENGENAI LERA WULAN TANA EKAN

 4.1 Kepercayaan Masyarakat Lamaholot Zaman Dahulu
            Pada zaman dahulu masyarakat Lamaholot sudah meyakini dan percaya akan adanya Allah, tetapi mereka tidak sanggup mengungkapkan adanya Allah itu. Mereka menyebut nama wujud tertinggi itu dengan simbol Lera Wulan Tana Ekan. Tanda kehadiran Wujud Tertinggi itu mereka imani lewat Nuba Nara[13]. Nuba Nara ini sebagai perantara antara Allah dan manusia.
            Nuba Nara adalah satu onggokan batu-batu kecil, sebesar kepalan tangan yang bundar dan licin yang terletak di depan korke[14], dan berada di tengah-tengah pelataran tempat orang menari dan membawakan persembahan[15]. Nuba Nara ini sebagai tempat tinggal Lera Wulan Tana Ekan. Batu Nuba Nara serta tempat di sekitarnya harus bersih dari rerumputan. Orang tidak boleh menghinanya dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak boleh menginjak-injaknya. Semua anggota suku, dari yang tertua sampai yang terkecil, harus hadir di depan batu Nuba Nara pada perayaan pesta-pesta Korke. Pada setiap pesta yang lain pun, batu-batu Nuba Nara harus mendapat bagiannya karena diyakini bahwa batu tersebut seperti orang tua yang melahirkan kita.
            Jadi Nuba Nara menurut pandangan orang Lamaholot dulu yang belum mengenal gereja adalah sebagai tempat suci di mana mereka dapat menyampaikan permohonan, misalnya; mendatangkan hujan, supaya panenan berhasil, terhindar dari gangguan hidup, terhindar dari penyakit dan lain-lain yang berkaitan dengan membangun rumah, terhindar dari bencana alam yang merugikan hidup mereka dan menang dari perang. Namun selain itu juga berupa ucapan syukur seperti ucapan syukur atas keberhasilan panenan, sembuh dari sakit, menang dari perang serta syukur atas terselenggaranya pesta adat, dan lain-lain. Dalam setiap doa yang diucapkan para tua adat dan masyarakat lain, doa-doa yang di dalamnya terdapat kalimat Lera Wulan Tana Ekan selalu didendangkan seperti berikut: Lera Wualan Tana Ekan nein kame kuat kemuha, ti kame akena goka pewaletem pi raran ni. Naku jaga gerihan kame ti kame akena berarakem, noon nein kame rezeki limpah de aya, ti kame bisa moripem pi tana lolon ni. (Lera Wulan Tana Ekan berikan kami kekuatan, supaya kami tidak jatuh dalam pencobaan dalam hidup ini. Tapi, lindungilah kami selalu agar kami tidak sakit, dan berikanlah kami selalu rezeki yang limpah, agar kami bisa hidup di dunia ini).

4.2 Kepercayaan Masyarakat Lamaholot Setelah Masuknya Agama Katolik
            Kekristenan yang berkembang pada masyarakat Lamaholot ini sesungguhnya ditenun dari suatu proses sejarah yang panjang dalam bingkai waktu dan kompleksitas budaya umat dan masyarakat. Tapi penyebaran itu tidaklah gampang menghadapi masyarakat Lamaholot yang sudah mendarah daging dengan adat yang dihidupi mereka. Sejalan dengan pergantian waktu, para misionaris memperkenalkan Agama Katolik lewat katekese-katekese, dan mulai membaptis masyarakat Lamaholot untuk masuk Katolik. Dalam pengajaran, para misionaris tidak menolak kepercayaan Allah lewat ungkapan Lera Wulan Tana Ekan. Malahan mereka mendukung kepercayaan itu dengan mengatakan bahwa Allah itu Maha tinggi seperti “Lera Wulan dan sekarang Allah juga ada di bumi dekat dengan kita seperti “Tana Ekan”. Pengalaman di hadapan Nuba Nara dan berbagai ritus yang dipraktekkan oleh masyarakat Lamaholot ini merupakan tolak pijak untuk berkiblat kepada Allah. Allah memberi terang ke bawah bumi ini supaya memperoleh kehidupan. Orang-orang mulai sadar bahwa wujud tertinggi yang mereka imani sama dengan Allah dalam kepercayaan Agama Katolik. Akhirnya mereka perlahan-lahan mulai menerima Agama Katolik sebagai agama yang dianut mereka hingga saat ini, tanpa menghilangkan kepercayaan dan adat yang telah dianut sejak dahulu itu.

            Ungkapan Lera Wulan Tana Ekan selain digunakan dalam bahasa adat, digunakan juga dalam agama, di sekolah, dalam berpidato, dan dalam upacara-upacara formal lainnya. Di samping mereka menghormati adat, mereka juga menghormati agama. Kami sangat yakin dan percaya bahwa ungkapan ini tidak akan punah, melainkan tetap dikumandangkan oleh generasi-generasi penerus di kemudian hari.

V. PENUTUP
            Dari keseluruhan uraian kami di atas dapatlah kita melihatnya bagaimana pemahaman akan eksistensi Allah dalam ungkapan Lera Wulan Tana Ekan menurut masyarakat Lamaholot. Masyarakat Lamaholot sebelum mengenal Agama Katolik, mereka telah mempunyai pemahaman tentang siapakah Allah itu? Allah bagi mereka begitu Maha tinggi, agung, dan luhur (Lera Wulan) tetapi sekaligus dekat (Tana Ekan) tidak dapat dibahasakan dengan nama yang sebenarnya selain dengan “simbol”. Akan tetapi esensi dari pengalaman itu menunjukkan eksistensi Allah yang memberikan hidup bagi mereka. Bagi masyarakat Lamaholot hidup itu dapat berjalan kalau Allah yang adalah wujud tertinggi itu tetap menyertai kita. Segala dimensi kehidupan mereka ada dalam tangan dan berhubungan langsung dengan Sang hidup yang mereka namakan Lera Wulan Tana Ekan. Semoga Lera Wulan Tana Ekan selalu memberkati kami berenam ini sebagai generasi penerus bangsa dan Lewotana[16] Lamaholot tercinta ini.










DAFTAR PUSTAKA

            Arndt, Paul. Agama Asli Di Kepulauan Solor. Maumere: Puslit Candradity, 2009.

Watun, Lambert Doni. Majalah Flobamora. Pematangsiantar: ([tanpa penerbit]),    1996.

Kean, Rofinus Nara, dkk. Selayang Pandang Budaya Lamaholot. Larantuka: Offcet CV. Jori, 2008.



[1]  Lambert Doni Watun. Majalah Flobamora (Pematangsiantar: ([tanpa penerbit]), 1996), hlm.16.

[2] Lamaholot berasal dari dua kata, yakni Lama dan Holot. Lama artinya kasta dan Holot berkembang dari kata Zelot yang berarti kuningan emas. Jadi Lamaholot berarti kasta emas. Kasta yang tinggi dan tidak bisa dipandang rendah.
                [3] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang Pandang Budaya Lamaholot (Larantuka: Offcet CV. Jovi
Stender, 2008), hlm. 9.

[4] Lambert Doni Watun Majalah..., hlm.17.

[5] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.17.

                [6] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang..., hlm. 10-11.

[7] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.17.

[8] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.17.

                [9] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang..., hlm.11.

[10] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.18-19.


                [11]  Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang..., hlm. 12-15.

                [12] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang..., hlm. 12-15.

                [13] Secara etimologis Nuba Nara berasal dari kata Tubak dan Tarak. Tubak artinya menikam atau jatuh tertikam dari atas, dan Tarak artinya tertikam, mengarah ke tempat datangnya tikaman atau dari mana datangnya kejatuhan. Dari sini dapat dimengerti bahwa jurusan datangnya tikaman adalah langit, surga; sedangkan tempat tikaman atau tujuan tikaman adalah bumi/dunia. Nuba adalah surga yang menjatuhkan diri, turun ke dalam dunia; Nara adalah surga yang tinggal tertanam dalam dunia dan menjadi satu dengan dunia. Nuba Nara juga mengungkapkan keterpisahan surga dan bumi.hal ini terbaca dalam koda atau ungkapan adat (sabda): Lera Wulan gikat teti lodo hau,Tana Ekan tama lali gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin taan ro uin na, gahan taan ro kahana (surga turun dari atas, bumi naik dari bawah, menjadi satu hati, satu kata, satu ikat, satu berkas, tak terurai, tak terpisah-pisahkan.)

                [14] Korke berarti rumah adat masyarakat Lamaholot.

                [15] Paul Arndt, Agama Asli Di Kepulauan Solor (Maumere: Puslit Candradity,2009), hlm.170.
                [16] Lewotana terdiri dari dua kata, yakni; Lewo yang berarti “kampung”, dan Tana yang berarti “tanah atau halaman”. Jadi Lewotana berarti kampung halaman.

Budaya daerah Ende


PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT  ENDE   LIO

A. Penduhuluan
                     Kebupaten Ende terletak di pulau Flores-NTT, memiliki luas sekitar 247.000 ha. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Nagekeo, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sikka. Di sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores dan di sebelah Selatan berbatasan dengan laut Sawu[1]. Penduduknya terdiri dari dua suku yaitu Suku Lio berdiam  di wilayah pegunungan, pantai Utara dan wilayah Selatan, sedangkan suku Ende berdiam di pesisir pantai Selatan (mayoritas beragama Islam).
Menurut pengamatan saya, masyarakat Ende baik suku Lio maupun suku Ende, sangat menjujung tinggi nilai-nilai dan norma-norma adat yang berlaku serta menjaganya dengan baik. Misalnya, tradisi pengantaran mas kawin dalam perkawinan. Pengantaran  mas kawin  dalam masyarakat ini merupakan salah satu tradisi yang harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan perkawinan. Mas kawin mempunyai arti dan makna  tersendiri.  Hal ini yang hendak penulis dalami melalui tulisan ini khususnya dalam suku LIO.

B. Makna Mas Kawin dalam Tradisi Perkawinan suku Ende Lio
Arti dan makna  pengantaran mas kawin dalam tradisi  perkawinan masyarakat Lio antara lain:
1.      Sebagai tanda dan simbol ikatan relasi antara keluarga pria dan wanita yang senantiasa terjalin hingga anak cucu. Dalam bahasa adat suku Lio”wuru iwa du’u, wai iwa dipe,pa’a nuwa ana,wezu nuwa embu.
2.      Sebagai tanda dan simbol  ikatan cinta kedua calon pengantin yang tidak dapat dipisahkan siapapun. Dalam bahasa adatnya;”uli ago bowa talo”
3.      Sebagai tanda dan simbol penghormatan keluarga pengantin pria terhadap keluarga pengantin wanita terutama orang tua yang merestui hubungan anak mereka.


C. Sebelum Perkawinan[2]
a)      Pelamaran (Ana ale)
Sebelum pihak pengantin pria mengantar mas kawin, terlebih dahulu mendatangi rumah  orang tua wanita untuk menanyai kesediaan dari kedua orangtua agar merestui hubungan kedua calon mempelai. Hal ini biasa diwakili utusan dari pihak pria. Dalam bahasa adat suku Lio,ana ale.Apabila direstui, dilanjutkan dengan peminangan.
b)      Peminangan (Ruti Nata)
Pada tahap ini seorang utusan bersama peserta yang membawa tempat sirih pinang menuju ke rumah calon pengantin wanita untuk melakukan peminangan. Peminangan dimulai dengan saling menghormati, merokok dan makan sirih pinang bersama. Selanjutnya orang tua calon pengantin wanita bertanya kepada utusan maksud kedatangan mereka tapi dalam bahasa kiasan/peribahasa seperti berikut:
Orangtua gadis:”Miu mai noo ola keko jie, gare pawe?”(maksud apa bapa ke sini, apakah ada yang bisa kami bantu?) Utusan  pria    :”kami  mai noo keko tau wuru pawe,noo gare tau mane jie”(kami datang dengan tujuan untuk membina hubungan baik) dan seterusnya sampai  orangtua si gadis memutuskan bahwa musyawarah mufakat sudah selesai dan berpesan kepada utusan calon pengantin pria bahwa empat belas hari lagi mereka boleh datang mengantar mas kawin. Selesai orang tua wanita menyampaikan pesan di atas, utusan langsung mengungkapkan pepatah:”setanga  di kami  mai, sa eko di kami deki, tolo aku deki leka ata banga api” yang berarti sepasang mas atau seekor hewan pun kami pasti datang, setelah kami sampaikan hal ini kepada orangtua pria. Ungkapan ini sebagai tanda penghargaan terhadap jasa dan jerih payah orangtua pengantin wanita.
Sebagai tanda peminangan, utusan keluarga pengantin pria mengeluarkan barang bawahan berupa emas, diletakkan dalam sebuah tempat sirih lalu menyerahkannya kepada orangtua calon panganti wanita. Penyerahan ini disebut ”ruti nata.” Selesainya acara peminangan, berarti ada ikatan antara kedua calon pengantin, teristimewa calon pengantin wanita tidak bisa menerima lamaran dari pria lain.





D.Tahap -Tahap Pengantaran Mas Kawin dalam Tradisi Suku Lio[3]
Setelah pelamaran dan peminangan, lalu dilanjutkan dengan pengantaran mas kawin yang dalam bahasa suku ini disebut ”Tu Ngawu atau tu welhi.” Adapun beberapa fase dalam pengantaran mas kawin ini, antara lain:               
1. Tu ngawu  mbe’o  sa’o
          Arti pengantaran mas kawin dari pihak pria kepada pihak perempuan sebagai tanda   bahwa kedua keluarga ini sudah terjalin hubungan kekeluargaan yang ideal dan harmonis. Maka calon pengantin pria bebas mengunjungi rumah orangtua calon istrinya dan sebaliknya
2. Tu Ngawu ria
      Mas kawin tahap kedua ini penyerahannya pada waktu yang sama tapi dalam beberapa tahap, antara lain:
a. Ngawu welhi weki,yaitu mas kawin  bermakna penghargaan terhadap harga diri calon pengantin wanita. Artinya wanita mempunyai harga diri sehingga tidak dapat diperjual belikan bagaikan barang. Maka harus diperlakukan dengan baik, dihargai dan dijaga.
      b. Ngawu buku taga, mas kawin sebagai tanda terima kasih kepada kelurga wanita. Bagian ini pun dibagi dalam beberapa tahap yakni:
ü Welhi ae susu ine ialah Sebagai tanda terima kasih kepada ibu yang telah
     melahirkan dan memberi susu kepada calon pengantin wanita.
ü Ngawu welhi kape ate ine no’o welhi buku ema kao adalah Sebagai tanda terima kasih untuk ibu dan ayah calon pengantin wanita yang setia, tulus dan iklas menjaga dan merawat anak mereka.
ü Ngawuwelhi eru wi’a adalah Mas kawin pada bagian ini mengungkapkan terimakasih kepada keluarga calon pengantin wanita yang akan berpisah dengan anak mereka.
ü Ngawu weli ine pu’u kamu adalah Mas kawin bagi om kandung calon pengantin wanita (saudara kandung dari ibu).
ü Welhi jara saka tumba sau adalah Mas kawin untuk saudara kandung dari calon penganti wanita (Nara Ndoa).
ü Welhi deke mamo ialah Mas kawin bagi kakek dan nenek calon pengantin wanita. 
3. Tu  Ngawu Nika adalah Mas kawin untuk urusan penerimaan Sakramen pernikahan di gereja. Penyerahan mas kawin ini dilakukan dalam beberapa tahap pada waktu yang sama (menjelang hari pernikahan) yaitu:
            3.1 welhi pai naja adalah Mas kawin untuk mengurus segala administrasi dan                     pemanggilan nama di gereja.
            3.2  soro meja bowa lima adalah Mas kawin sebagai tanda melepaskan kepergian   anak. Dengan ini orangtua calon pengantin wanita dengan iklas melepaskan anak          mereka untuk diteguhkan dalam perkawinannya di gereja.
            3.3 Welhi dari nika no’o eko nika adalah mas kawin untuk mengurus dana acara     resepsi/pesta pernikahan.

E. Tahap Nira Nika(melihat proses perkawinan di gereja)
Walaupun mas kawin sudah selesai diantarkan secara adat istiadat namun mereka   tetap belum sah menjadi suami-istri karena belum diteguhkan dengan  ikatan perkawinan di gereja dalam sakramen perkawinan. Oleh karena itu setelah  menyelesaikan seluruh rangkaian proses adat,  maka kedua calon pengantin harus dikukuhkan dalam sekramen perkawinan di gereja. Apabila kedua mempelai ini sudah melaksanakan proses ritus perkawinan di gereja berarti kedua pasangan itu sudah sah menjadi suami dan istri dalam memulai hidup bersama/hidup berkeluarga. Tradisi ini sudah dimulai sejak Gereja katolik masuk dalam lingkungan budaya masyarakat Lio.

F. Joka Ana/Tu Ana(melepaskan anak)[4]
                      Setelah pernikahan di gereja, biasanya kedua pasangan tinggal di rumah orangtua pengantin wanita selama 40 malam. Kemudian orangtua pengantin wanita  mengantar mereka ke rumah orang tuan pengantin laki-laki (sao tua nggae ko’o fai) dan menetap di sana seumur hidup.
Pada kesempatan itu, orangtua pengantin wanita membawa semacam bekal untuk kedua mempelai berupa:  beras, padi, kue cucur (filu), emping (kibi), pisang yang matang, arak (moke) dan beberapa lembar kain tenun ikat seperti  sarung lipa, baju serta selendang. Hal ini sebagai tanda ungkapan terima kasih dan rasa hormat kepada pihak orangtua laki-laki yang sudah menerima puteri mereka dan sekaligus ikatan kekeluargaan yang lebih erat. orangtua pengantin wanita lalu mengungkapkan kata pelepasan dan penyerahan dalam tradisi suku Lio sebagai berikut”ina nu do buu,banga diwaja....nitu nee nuka nua,painea tama keka...,dua mu jika dua mu ju” yang berarti: ia sekarang abdi kamu...malapetaka apapun yang datang... menjadi kewajiban kamu untuk mengatasinya bersama dia.
G. Penutup
                      Orang Ende umumnya dan suku Lio khususnya menganut paham patrilineal. Bahwa laki-lakilah yang berperan dalam keluarga. Meskipun demikian, bukan berarti martabat perempuan disepelehkan. Dalam rangka menghargai dan menujunjung tinggi harkat dan martabat perempuanlah, mas kawin ada dan dilestarikan turun temurun sebagai budaya.
Mas kawin ini merupakan bukti cinta suami- istri, dan lambang ikatan kekeluargaan serta rasa kehormatan antara keluarga kedua mempelai. Sebagai budaya, kebiasaan adanya mas kawin hendak mengutarakan eksistensi penduduk suku Lio, sebagai pedunduk yang beradat istiadat, menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai warisan leluhur.
Mengikuti ajaran dalam Gereja Katolik bahwa perkawinan itu bersifat monogami, artinya suami - istri yang telah diteguhkan dengan sakramen perkawinan, tidak bisa diceraikan oleh siapapun kecuali maut menjemput, orang Lio juga memegang teguh dan mentaati apa yang  telah tertulis dalam Kitab Suci (Mat 19:6) bahwa: “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.” Bukti ketaatan mereka ditampakkan dengan mengikuti persyaratan-persyaratan persiapan penerimaan sakramen perkawinan Katolik seperti kursus persiapan perkawinan dan pemeriksaan kanonik.
Tentang perkawinan yang tak terceraikan, orang Lio mengatakan “uli ago, bowa talo” artinya apa yang sudah menjadi satu tidak dapat dilepaskan lagi. Ungkapan ini sangat menyatu dengan ajaran Gereja Katolik  yang menguatkan,“apa yang telah dipersatukan Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia”. Ungkapan ini menekankan bahwa suami - istri yang telah dipersatukan Allah atas dasar cinta kasih harus menjaga dan merawatnya hingga akhir hayat.
Mas kawin bukan dimakna secara jasmaniah belaka, tapi lebih mengandung makna spiritual yang sangat dalam dan mengikat terisimewa kedua mempelai dalam menjaga keutuhan rumah tangganya hingga kekal. Adanya mas kawin dalam masyarakat Lio harus dimengerti dalam konteks ini, sehingga tidak muncul anggapan bahwa terjadi jual beli kaum perempuan di dalam masyarakat yang sama. Semoga tulisan sederhana ini dapat memberi secuil penerangan bagi kita dalam upaya mengenal budaya perkawinan dan penyerahan mas kawin di Ende umumnya dan suku Lio khususnya. Akhirnya penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik di nantikan dengan lapang dada.





Bibliografi
Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya Misioner KWI,  SAWI dan Saran Karya Perutusan Gereja , Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 1990.
Misa wassa.L, Adat perkawinan orang Lio, Ende: Nusa Indah.1988.



                [1] Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya Misioner KWI,  SAWI dan Saran Karya Perutusan Gereja , (Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 1991), hlm. 97-120.
[2] L. Misa Wassa, Adat perkawinan orang Lio, (Ende: Nusa Indah.1988), hlm. 12

                [3] Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya Misioner KWISAWI..., hlm.116.
[4]  Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya Misioner KWISAWI.., hlm.118

Kamis, 26 April 2012

PEMBUKTIAN EKSISTENSI ALLAH Menurut ANSELMUS DARI CANTERBURY


PEMBUKTIAN EKSISTENSI ALLAH
Menurut
ANSELMUS DARI CANTERBURY
Pendahuluan
Santo Anselmus dari  Cantebury  adalah filsuf  dan teolog Kristen yang terkemuka pada abad ke sebelas. Ia adalah orang termasyhur yang memperkenalkan “ontological argument” untuk membuktikan adanya Allah. Argumen tersebut termuat pada bagian kedua Proslogion. Selain itu, ia juga menyumbangkan  pokok pikiran tentang filsafat  teologi (dan tentunya  lebih mengarah pada filsafat secara umum), yang tidak meninggalkan titik pangkal utama dari penjelasan secara ontologi.
Anselmus mengetengahkan 2 judul karya yang ia hasilkan untuk membuktikan adanya Allah yakni  Monologion dan Proslogion. Diantara kedua karya tersebut yang lebih menjadi sorotan dan perdebatan ialah Proslogion, bahkan sampai pada abad sekarang ini. Beberapa tokoh pemikir yang cukup tertarik dan mempermasalahkannya karya itu diantaranya ialah Bonaventura, Thomas Aquinas, Dun Scotus, Descartes, Leibniz, Immanuel Kant, Hegel, hingga beberapa filsuf analisis bahasa abad XX.
Riwayat Hidup
Anselmus dilahirkan di Aosta Piemont, Italia sekitar tahun 1033. Ia adalah putera seorang bangsawan comberdia yang ditandai dengan banyak gejolak dan pancaroba. Ayahnya bernama Gundulph dan ibunya bernama Ermenberga.[1] Ia menolak keinginan ayahnya untuk menjadi seorang politikus, dan lebih memilih menjadi pengembara menyeberangi penugunungan Alpens dan mengelilingi eropa.[2] Pada usia 26 tahun ia masuk biara di Bec, Normandia, Perancis yang dipimpin oleh Lanfranc.[3]
Anselmus dari cantebury, juga dikenal sebagai Anselmus dari Aosta dan Anselmus dari Bec atau Santo Anselmus, adalah pelajar pertama, yang kemudian menjadi seorang biarawan. Ia dipilih menjadi abbas pada usia 45 tahun.  Lima belas tahun kemudian Ia diangkat menjadi uskup agung Cantebury yaitu pada tahun 1093. Sejak itu kehidupan Anselmus terus diwarnai oleh pertentangan dengan raja William II dan Henri I mengenai hak Gereja dan negara. Anselmus menghendaki supaya uskup-uskup dipilih dengan bebas tanpa campur tangan negara. William II mengancam akan memecat uskup agung itu  sehingga Anselmus melarikan diri ke Roma selama tiga tahun. Di tempat pengasingan itulah Ia menulis sebuah buku terkenal yang berjudul “ Cur Deus Homo?” (Mengapa Allah Menjdi Manusia?).
Anselmus kembali ke Inggris ketika Henry I naik tahta. Tapi segera disusul oleh perselisihan lagi Henry I menuntut hak atas pengangkatan uskup dan abbas. Anselmus mengungsi ke Roma untuk yang kedua kalinya.[4] Anselmus terkategori orang yang memenuhi syarat sebagai seorang skolastikus.[5]
Iman Mencari Kebenaran
Menurut beberapa penulis bibliografy para filsuf, Anselmus mencoba untuk melanjutkan beberapa pokok pemikiran dari sang pendahulunya yakni Santo Agustinus. Anselmus adalah orang yang pertama mengemukakan Argument Ontologis mengenai  keberadaan Allah dan merupakan seorang tokoh yang sangat terkenal pada abad pertengahan. Anselmus juga seorang yang memiliki pendirian yang  kuat untuk melawan aliran anti-filsafat di jamannya. Karena Ia meyakini filsafat mampu memberikan  dasar-dasar yang terdalam mengenai hakikat manusia dan dunia.[6] Anselmus  menggunakan cara berpikir rasional untuk memahami iman Kristen, yang selalu dianggap sebuah aliran skeptisisme dan sering disangsikan kebenarannya. Anselmus mengutarakan pendapatnya dengan mengandalkan rasio.[7] Dengan cara berpikir rasional pemahaman iman yang essential merupakan suatu  kewajiban keberagamaan. Ia beranggapan bahwa:

“I do not  attempt, O Lord, to penetrate thy profundity, for  I deem my intelect in no way sufficienst there into, but I desire to understand in some degree they truth, which my heart believes and loves. For  I do not seek to understand, in order “That   I may believe but I believe, that I my understand. For I  believe this too, that unless I  believed, I should not understand[8]

Salah satu gagasan yang dikembangkan dan digunakan oleh Anselmus dalam berteologi dan berfilsafat ialah pemikiran dialektika. Anselmus percaya dengan cara ini pencarian akan suatu  pengertian dapat dicapai dengan baik. Pengembangan pemikiran ini tidak dimaksudkan hanya dengan akal (rasio) saja yang mampu atau bisa menghantar setiap orang untuk percaya dan yakin, akan tetapi untuk lebih berpikir kritis akan suatu kebenaran yang sungguh benar. Hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan dirumuskan oleh Anselmus dengan: fides quaerens intellectum (iman berusaha untuk mengerti). Melalui iman setiap orang dihantar kepada suatu pengertian. Iman dijadikan sebagai dasar memahami segala sesuatu di atas rasio. Atau secara personal: credo ut intelligam (aku percaya untuk mengerti), ini dimaksudkan agar dengan iman setiap orang dibantu untuk bisa sampai pada suatu pengertian yang terdalam.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Anselmus kurang lebih sama dengan pemikiran Agustinus dan Johanes Scotus Eriugena. Anselmus mengemukakan bahwa kebenaran yang diwahyukan harus dipercaya terlebih dahulu, karena akal manusia tidak mampu untuk menyatakan suatu kebenaran itu. Wahyu yang diturunkan merupakan suatu kebenaran yang mutlak. Dalam hal ini juga, Ia menyatakan bahwa Iman bersifat bebas dan tidak terikat, serta tidak memerlukan dasar-dasar akali. Meskipun setiap orang memiliki kepastian karena iman, akalnya dengan sendirinya akan didorong oleh iman untuk menyelami kebenaran-kebenaran iman lebih lanjut.
Iman harus menjadi dasar segala-galanya.  Dengan demikian, suatu kebenaran yang terkandung di dalam Kitab Suci, mampu dijelaskan secara rasional serta mendalam. Di percayai bahwa dari iman, orang naik sampai kepada pengetahuan, yaitu pengetahuan yang dilengkapi dengan pembuktian.  Namun, pada pandangan itu diharapkan kepastian iman tidak dimengerti akan semakin bertambah. Iman juga diharapkan menjadi lebih mendasar, utuh dan melekat pada diri manusia yang adalah ciptaan Allah. Perbedaannya ialah iman diberikan dengan perantaraan wahyu, sedangkan pengetahuan akali diberikan dengan perantaraan penerangan Ilahi. Iman telah memberi kepada Orang Kristen suatu pandangan yang mendalam atas dunia. Akan tetapi iman yang mendalam, yang disertai pengetahuan akali, memberi suatu pandangan yang lebih mendalam lagi atas segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan, baik atas Allah, manusia maupun dunia.
Menurut Anselmus, pengertian-pengertian umum atau universalia bukan hanya sebutan saja, akan tetapi juga memiliki realitas. Universalia benar-benar nyata, bebas daripada segala yang individual, yaitu berada sebagai idea-idea di dalam Allah. Pemikiran mengenai akali, maupun pandangannya tentang universalia dikaitkan dengan pandangannya tentang bukti-bukti akan adanya Allah, yang mana, iman mendasari kepastian keberadaan “Allah” yang menuntut suatu pembuktian.
Pendirian Anselmus tentang hubungan antara rasio dan iman disingkatkannya dengan semboyan “Credo ut intelligam” (saya percaya supaya saya mengerti). Maksudnya ialah bahwa melalui kepercayaan kristiani orang dapat mencapai pengertian lebih mendalam tentang Allah, manusia dan dunia.
Pembuktian adanya Allah
Anselmus mencoba memberikan dua cara untuk membuktikan bahwa Allah memang ada. Pertama, ialah ketika ia melihat adanya hal-hal yang terbatas, yang  mengandaikan adanya hal-hal yang tidak terbatas. Dengan begitu ia hendak mengatakan bahwa, akal manusia hanya mampu untuk sampai kepada pemahaman yang biasa-biasa saja, tidak sepenuhnya mendalam dan sungguh-sungguh mendasar. ada banyak hal yang tidak mampu kita jelaskan begitu saja dengan pengetahuan yang kita miliki, karena itu ia mendasarkan adanya hal-hal yang tidak terbatas. Selain itu, Ia juga mengatakan adanya Yang baik secara relatif, dengan ini mengandaikan adanya sesuatu yang baik secara mutlak. Menurut dia, Seandainya tiada hal yang baik secara mutlak mustahil ada sesuatu yang baik secara relatif. Demikian juga halnya dengan yang besar secara relatif mengandaikan juga adanya hal-hal yang besar secara mutlak. Beradanya “yang ada” secara relatif mengandaikan beradanya “ yang ada secara mutlak, yakni Allah.
Cara yang kedua, yang digunakan oleh Anselmus untuk membuktikan adanya Allah ialah penguraian. Menurut Anselmus, apa yang kita sebut Allah memiliki suatu pengertian yang lebih besar dari segala sesuatu yang bisa kita pikirkan. Apabila kita berbicara tentang Allah, yang kita maksudkan ialah suatu pengertian yang lebih besar dari pada apa saja yang dapat kita pikirkan. Dengan begitu pengertian “Allah” yang ada di dalam rumusan pemikiran kita adalah lebih besar daripada apa saja yang ada di dalam pikiran. Apa yang di dalam pikiran ada sebagai yang tertinggi atau yang lebih besar, tentu juga berada di dalam kenyataan sebagai yang tertinggi dan yang terbesar.
Teori atau cara yang kedua yang dipaparkan oleh Anselmus diatas, tidak sepenuhnya bisa digunakan untuk semua tingkat pemikiran. Teori ini ingin mengutarakan bahwa Allah yang dipahami berbeda dengan pengertian-pengertian ataupun pemahaman yang lain. Tidak dipahami seperti suatu pemahaman yang semu, seperti pulau yang terindah yang dipikirkan orang atau dikhayalkan, belum tentu benar-benar ada dalam kenyataan. Hanya pengertian tentang Allah sebagai tokoh yang jauh lebih besar daripada segala sesuatu itulah yang menurut adanya realitas yang sesuai dengan pengertian itu.
Jalan pikiran Anselmus dalam bukti ini dirumuskan secara singkat adalah sebagai berikut:[9]
  1. Kita semua satu bahwa dengan nama “Allah” dimaksudkan hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi (“id quo nihil maius  cogitari potest”). Dengan perkataan lain, dengan nama “Allah” kita maksudkan hal yang lebih besar dari hal lain yang dapat dipikirkan.
  2. Tidak mungkin hal yang tidak dapat dipikirkan lebih besar lagi, hanya berada dalam PEMIKIRAN saja, karena  hal yang ada dalam pemikiran saja bukanlah hal yang terbesar, sebab lebih besar lagi ialah berada dalam KENYATAAN. Supaya
  3. Pada suatu kesimpulan bahwa Allah tidak hanya berada dalam pemikiran manusia, tetapi juga dalam kenyataan. Jadi, Allah sungguh ADA.
Refleksi
Kerap kali keberadaan Allah sebagai pencipta  dimengerti, dan hanya dapat dipahami melalui IMAN dan WAHYU Ilahi yang ada di dalam KITAB SUCI. Tidak mengherankan, banyak orang bergelut di dalam ilmu pengetahuan untuk membuktikan siapa itu Allah.  Tidak jarang pula umat beragama menafikan peran rasio (akal budi) manusia, seolah-olah akal budi tidak berdaya untuk membuktikan adanya Allah.
Anselmus adalah salah seorang “terpelajar”, seorang Kristen yang mencoba memasukkan logika dalam pelayanan iman. Kendatipun, ia mengerti tentang alkitab, namun ia hendak menguji kekuatan logika manusia dalam upayanya membuktikan doktrinnya. Ia selalu mendasarkan iman dalam segala sesuatu. Argumentasi ontologisnya (informasi yang dapat mengarah ke penemuan sesuatu yang penting) mengajak kita untuk   percaya kepada Allah. Singkatnya, ia menyatakan bahwa rasio manusia membutuhkan ide mengenai suatu zat yang sempurna yaitu “Allah”. Oleh  sebab itu,  zat tersebut harus ada.
Santo Anselmus juga mau mengajarkan kepada kita agar ilmu pengetahuan yang kita peroleh henndaknya menjadikan kita lebih bijaksana. Dengan “berilmu” kita diingatkan untuk selalu rendah hati dan takwa. Ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk mampu menjelaskan iman kita kepada Allah sebagai pencipta alam semesta dan manusia. 
Bibliografi
Bertens, K., Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyajarta: Kanisius, 1998. 
Copleston, P., A History of Philosophy Vol. 2, New York, Garden City: Image Books, 1962.
Edwards, Paul ed in chip., The Encyclopedia of Philosophy Vol. I+II , New York: Mac Millan publishing Co., Inc. and The Free Press…, 1972.
H. Anderson, Gerald., Biographical Dictionary of Christian Mission, New York: WMB Eerdmans Pubilshing Co., 1999.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah FilsafatBarat 1, Yogyakarta: Kanisius, 1990. 
M. J., Charlesworth, (trans) (ed)., St. Anselm’s Proslogion, Notre Dame, University of Notre Dame Press, tahun  2003.
Sudiarja, A., Subanar, G. Budi., Sunadi, St., Sarkini, T., Karya lengkap Driyarkara, Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 2006.
Willem, F.D., Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987.


[1] F. D. Willem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm. 7.
[2] Charlesworth, M. J., trans. and ed. St. Anselm’s Proslogion, (Notre Dame, University of Notre Dame Press,  2003), hlm. 9.
[3] Gerald H. Anderson, Biographical Dictionary of Christian Mission, (New York: WMB Eerdmans Pubilshing Co., 1999),  hlm. 23.

[4] Gerald H. Anderson, Biographical Dictionary of Christian Mission, (WMB Eerdmans Pubilshing Co., New York, 1999), hlm. 23.

[5]  Dr. Harun Hadiwijono, Sari sejarah  Filsafat Barat 1, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm 94
[6] Charlesworth, M. J., trans. and ed. St. Anselm’s Proslogion, (Notre Dame, University of Notre Dame Press,  2003), hlm. 9.
[7] Paul Edwards, ed in chip, The Encyclopedia of Philosophy Vol. I+II (New York: Mac Millan publishing Co., Inc. and The Free Press…, 1972), hlm. 128-129.
[8] P. Copleston, A History of Philosophy Vol. 2, (New York, Garden City: Image Books, 1962), hlm. 177.

[9]  K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyajarta: Kanisius, 1998), hlm. 26-27