Sabtu, 28 April 2012

Budaya daerah Ende


PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT  ENDE   LIO

A. Penduhuluan
                     Kebupaten Ende terletak di pulau Flores-NTT, memiliki luas sekitar 247.000 ha. Di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Nagekeo, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sikka. Di sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores dan di sebelah Selatan berbatasan dengan laut Sawu[1]. Penduduknya terdiri dari dua suku yaitu Suku Lio berdiam  di wilayah pegunungan, pantai Utara dan wilayah Selatan, sedangkan suku Ende berdiam di pesisir pantai Selatan (mayoritas beragama Islam).
Menurut pengamatan saya, masyarakat Ende baik suku Lio maupun suku Ende, sangat menjujung tinggi nilai-nilai dan norma-norma adat yang berlaku serta menjaganya dengan baik. Misalnya, tradisi pengantaran mas kawin dalam perkawinan. Pengantaran  mas kawin  dalam masyarakat ini merupakan salah satu tradisi yang harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan perkawinan. Mas kawin mempunyai arti dan makna  tersendiri.  Hal ini yang hendak penulis dalami melalui tulisan ini khususnya dalam suku LIO.

B. Makna Mas Kawin dalam Tradisi Perkawinan suku Ende Lio
Arti dan makna  pengantaran mas kawin dalam tradisi  perkawinan masyarakat Lio antara lain:
1.      Sebagai tanda dan simbol ikatan relasi antara keluarga pria dan wanita yang senantiasa terjalin hingga anak cucu. Dalam bahasa adat suku Lio”wuru iwa du’u, wai iwa dipe,pa’a nuwa ana,wezu nuwa embu.
2.      Sebagai tanda dan simbol  ikatan cinta kedua calon pengantin yang tidak dapat dipisahkan siapapun. Dalam bahasa adatnya;”uli ago bowa talo”
3.      Sebagai tanda dan simbol penghormatan keluarga pengantin pria terhadap keluarga pengantin wanita terutama orang tua yang merestui hubungan anak mereka.


C. Sebelum Perkawinan[2]
a)      Pelamaran (Ana ale)
Sebelum pihak pengantin pria mengantar mas kawin, terlebih dahulu mendatangi rumah  orang tua wanita untuk menanyai kesediaan dari kedua orangtua agar merestui hubungan kedua calon mempelai. Hal ini biasa diwakili utusan dari pihak pria. Dalam bahasa adat suku Lio,ana ale.Apabila direstui, dilanjutkan dengan peminangan.
b)      Peminangan (Ruti Nata)
Pada tahap ini seorang utusan bersama peserta yang membawa tempat sirih pinang menuju ke rumah calon pengantin wanita untuk melakukan peminangan. Peminangan dimulai dengan saling menghormati, merokok dan makan sirih pinang bersama. Selanjutnya orang tua calon pengantin wanita bertanya kepada utusan maksud kedatangan mereka tapi dalam bahasa kiasan/peribahasa seperti berikut:
Orangtua gadis:”Miu mai noo ola keko jie, gare pawe?”(maksud apa bapa ke sini, apakah ada yang bisa kami bantu?) Utusan  pria    :”kami  mai noo keko tau wuru pawe,noo gare tau mane jie”(kami datang dengan tujuan untuk membina hubungan baik) dan seterusnya sampai  orangtua si gadis memutuskan bahwa musyawarah mufakat sudah selesai dan berpesan kepada utusan calon pengantin pria bahwa empat belas hari lagi mereka boleh datang mengantar mas kawin. Selesai orang tua wanita menyampaikan pesan di atas, utusan langsung mengungkapkan pepatah:”setanga  di kami  mai, sa eko di kami deki, tolo aku deki leka ata banga api” yang berarti sepasang mas atau seekor hewan pun kami pasti datang, setelah kami sampaikan hal ini kepada orangtua pria. Ungkapan ini sebagai tanda penghargaan terhadap jasa dan jerih payah orangtua pengantin wanita.
Sebagai tanda peminangan, utusan keluarga pengantin pria mengeluarkan barang bawahan berupa emas, diletakkan dalam sebuah tempat sirih lalu menyerahkannya kepada orangtua calon panganti wanita. Penyerahan ini disebut ”ruti nata.” Selesainya acara peminangan, berarti ada ikatan antara kedua calon pengantin, teristimewa calon pengantin wanita tidak bisa menerima lamaran dari pria lain.





D.Tahap -Tahap Pengantaran Mas Kawin dalam Tradisi Suku Lio[3]
Setelah pelamaran dan peminangan, lalu dilanjutkan dengan pengantaran mas kawin yang dalam bahasa suku ini disebut ”Tu Ngawu atau tu welhi.” Adapun beberapa fase dalam pengantaran mas kawin ini, antara lain:               
1. Tu ngawu  mbe’o  sa’o
          Arti pengantaran mas kawin dari pihak pria kepada pihak perempuan sebagai tanda   bahwa kedua keluarga ini sudah terjalin hubungan kekeluargaan yang ideal dan harmonis. Maka calon pengantin pria bebas mengunjungi rumah orangtua calon istrinya dan sebaliknya
2. Tu Ngawu ria
      Mas kawin tahap kedua ini penyerahannya pada waktu yang sama tapi dalam beberapa tahap, antara lain:
a. Ngawu welhi weki,yaitu mas kawin  bermakna penghargaan terhadap harga diri calon pengantin wanita. Artinya wanita mempunyai harga diri sehingga tidak dapat diperjual belikan bagaikan barang. Maka harus diperlakukan dengan baik, dihargai dan dijaga.
      b. Ngawu buku taga, mas kawin sebagai tanda terima kasih kepada kelurga wanita. Bagian ini pun dibagi dalam beberapa tahap yakni:
ü Welhi ae susu ine ialah Sebagai tanda terima kasih kepada ibu yang telah
     melahirkan dan memberi susu kepada calon pengantin wanita.
ü Ngawu welhi kape ate ine no’o welhi buku ema kao adalah Sebagai tanda terima kasih untuk ibu dan ayah calon pengantin wanita yang setia, tulus dan iklas menjaga dan merawat anak mereka.
ü Ngawuwelhi eru wi’a adalah Mas kawin pada bagian ini mengungkapkan terimakasih kepada keluarga calon pengantin wanita yang akan berpisah dengan anak mereka.
ü Ngawu weli ine pu’u kamu adalah Mas kawin bagi om kandung calon pengantin wanita (saudara kandung dari ibu).
ü Welhi jara saka tumba sau adalah Mas kawin untuk saudara kandung dari calon penganti wanita (Nara Ndoa).
ü Welhi deke mamo ialah Mas kawin bagi kakek dan nenek calon pengantin wanita. 
3. Tu  Ngawu Nika adalah Mas kawin untuk urusan penerimaan Sakramen pernikahan di gereja. Penyerahan mas kawin ini dilakukan dalam beberapa tahap pada waktu yang sama (menjelang hari pernikahan) yaitu:
            3.1 welhi pai naja adalah Mas kawin untuk mengurus segala administrasi dan                     pemanggilan nama di gereja.
            3.2  soro meja bowa lima adalah Mas kawin sebagai tanda melepaskan kepergian   anak. Dengan ini orangtua calon pengantin wanita dengan iklas melepaskan anak          mereka untuk diteguhkan dalam perkawinannya di gereja.
            3.3 Welhi dari nika no’o eko nika adalah mas kawin untuk mengurus dana acara     resepsi/pesta pernikahan.

E. Tahap Nira Nika(melihat proses perkawinan di gereja)
Walaupun mas kawin sudah selesai diantarkan secara adat istiadat namun mereka   tetap belum sah menjadi suami-istri karena belum diteguhkan dengan  ikatan perkawinan di gereja dalam sakramen perkawinan. Oleh karena itu setelah  menyelesaikan seluruh rangkaian proses adat,  maka kedua calon pengantin harus dikukuhkan dalam sekramen perkawinan di gereja. Apabila kedua mempelai ini sudah melaksanakan proses ritus perkawinan di gereja berarti kedua pasangan itu sudah sah menjadi suami dan istri dalam memulai hidup bersama/hidup berkeluarga. Tradisi ini sudah dimulai sejak Gereja katolik masuk dalam lingkungan budaya masyarakat Lio.

F. Joka Ana/Tu Ana(melepaskan anak)[4]
                      Setelah pernikahan di gereja, biasanya kedua pasangan tinggal di rumah orangtua pengantin wanita selama 40 malam. Kemudian orangtua pengantin wanita  mengantar mereka ke rumah orang tuan pengantin laki-laki (sao tua nggae ko’o fai) dan menetap di sana seumur hidup.
Pada kesempatan itu, orangtua pengantin wanita membawa semacam bekal untuk kedua mempelai berupa:  beras, padi, kue cucur (filu), emping (kibi), pisang yang matang, arak (moke) dan beberapa lembar kain tenun ikat seperti  sarung lipa, baju serta selendang. Hal ini sebagai tanda ungkapan terima kasih dan rasa hormat kepada pihak orangtua laki-laki yang sudah menerima puteri mereka dan sekaligus ikatan kekeluargaan yang lebih erat. orangtua pengantin wanita lalu mengungkapkan kata pelepasan dan penyerahan dalam tradisi suku Lio sebagai berikut”ina nu do buu,banga diwaja....nitu nee nuka nua,painea tama keka...,dua mu jika dua mu ju” yang berarti: ia sekarang abdi kamu...malapetaka apapun yang datang... menjadi kewajiban kamu untuk mengatasinya bersama dia.
G. Penutup
                      Orang Ende umumnya dan suku Lio khususnya menganut paham patrilineal. Bahwa laki-lakilah yang berperan dalam keluarga. Meskipun demikian, bukan berarti martabat perempuan disepelehkan. Dalam rangka menghargai dan menujunjung tinggi harkat dan martabat perempuanlah, mas kawin ada dan dilestarikan turun temurun sebagai budaya.
Mas kawin ini merupakan bukti cinta suami- istri, dan lambang ikatan kekeluargaan serta rasa kehormatan antara keluarga kedua mempelai. Sebagai budaya, kebiasaan adanya mas kawin hendak mengutarakan eksistensi penduduk suku Lio, sebagai pedunduk yang beradat istiadat, menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai warisan leluhur.
Mengikuti ajaran dalam Gereja Katolik bahwa perkawinan itu bersifat monogami, artinya suami - istri yang telah diteguhkan dengan sakramen perkawinan, tidak bisa diceraikan oleh siapapun kecuali maut menjemput, orang Lio juga memegang teguh dan mentaati apa yang  telah tertulis dalam Kitab Suci (Mat 19:6) bahwa: “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.” Bukti ketaatan mereka ditampakkan dengan mengikuti persyaratan-persyaratan persiapan penerimaan sakramen perkawinan Katolik seperti kursus persiapan perkawinan dan pemeriksaan kanonik.
Tentang perkawinan yang tak terceraikan, orang Lio mengatakan “uli ago, bowa talo” artinya apa yang sudah menjadi satu tidak dapat dilepaskan lagi. Ungkapan ini sangat menyatu dengan ajaran Gereja Katolik  yang menguatkan,“apa yang telah dipersatukan Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia”. Ungkapan ini menekankan bahwa suami - istri yang telah dipersatukan Allah atas dasar cinta kasih harus menjaga dan merawatnya hingga akhir hayat.
Mas kawin bukan dimakna secara jasmaniah belaka, tapi lebih mengandung makna spiritual yang sangat dalam dan mengikat terisimewa kedua mempelai dalam menjaga keutuhan rumah tangganya hingga kekal. Adanya mas kawin dalam masyarakat Lio harus dimengerti dalam konteks ini, sehingga tidak muncul anggapan bahwa terjadi jual beli kaum perempuan di dalam masyarakat yang sama. Semoga tulisan sederhana ini dapat memberi secuil penerangan bagi kita dalam upaya mengenal budaya perkawinan dan penyerahan mas kawin di Ende umumnya dan suku Lio khususnya. Akhirnya penulis sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik di nantikan dengan lapang dada.





Bibliografi
Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya Misioner KWI,  SAWI dan Saran Karya Perutusan Gereja , Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 1990.
Misa wassa.L, Adat perkawinan orang Lio, Ende: Nusa Indah.1988.



                [1] Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya Misioner KWI,  SAWI dan Saran Karya Perutusan Gereja , (Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 1991), hlm. 97-120.
[2] L. Misa Wassa, Adat perkawinan orang Lio, (Ende: Nusa Indah.1988), hlm. 12

                [3] Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya Misioner KWISAWI..., hlm.116.
[4]  Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya Misioner KWISAWI.., hlm.118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar