PERKAWINAN DALAM
MASYARAKAT ENDE LIO
A. Penduhuluan
Kebupaten Ende terletak di pulau Flores-NTT, memiliki luas sekitar
247.000 ha. Di sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Nagekeo, di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Sikka. Di sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores dan di sebelah Selatan
berbatasan dengan laut Sawu[1].
Penduduknya terdiri dari dua suku yaitu Suku Lio berdiam di wilayah pegunungan, pantai Utara dan
wilayah Selatan, sedangkan suku Ende berdiam di pesisir pantai Selatan (mayoritas
beragama Islam).
Menurut pengamatan saya, masyarakat Ende baik suku
Lio maupun suku Ende, sangat menjujung tinggi nilai-nilai dan norma-norma adat yang
berlaku serta menjaganya dengan baik. Misalnya, tradisi pengantaran mas kawin
dalam perkawinan. Pengantaran mas
kawin dalam masyarakat ini merupakan
salah satu tradisi yang harus dilaksanakan sebelum pelaksanaan perkawinan. Mas kawin
mempunyai arti dan makna
tersendiri. Hal ini yang hendak
penulis dalami melalui tulisan ini khususnya dalam suku LIO.
B. Makna Mas Kawin dalam Tradisi Perkawinan suku Ende Lio
Arti dan makna pengantaran mas kawin dalam tradisi
perkawinan masyarakat
Lio antara lain:
1. Sebagai tanda dan simbol ikatan relasi antara keluarga
pria dan wanita yang senantiasa terjalin hingga anak cucu. Dalam bahasa adat suku Lio”wuru iwa du’u, wai iwa dipe,pa’a nuwa
ana,wezu nuwa embu.
2. Sebagai tanda dan simbol
ikatan cinta kedua calon pengantin yang tidak dapat
dipisahkan siapapun. Dalam bahasa adatnya;”uli ago bowa talo”
3. Sebagai tanda dan simbol penghormatan keluarga pengantin pria terhadap keluarga pengantin wanita terutama orang tua yang merestui hubungan anak mereka.
a) Pelamaran (Ana ale)
Sebelum
pihak pengantin pria mengantar mas kawin, terlebih dahulu mendatangi rumah orang tua wanita untuk menanyai kesediaan
dari kedua orangtua agar merestui hubungan kedua calon mempelai. Hal ini biasa diwakili utusan dari pihak pria. Dalam bahasa adat suku Lio,”ana
ale.” Apabila direstui, dilanjutkan dengan peminangan.
b)
Peminangan
(Ruti Nata)
Pada tahap
ini seorang utusan bersama peserta yang membawa tempat sirih pinang menuju ke rumah
calon pengantin wanita untuk melakukan peminangan. Peminangan dimulai dengan
saling menghormati, merokok dan makan sirih pinang bersama. Selanjutnya orang
tua calon pengantin wanita bertanya kepada utusan maksud kedatangan mereka tapi
dalam bahasa kiasan/peribahasa seperti berikut:
Orangtua
gadis:”Miu mai noo ola keko jie, gare
pawe?”(maksud apa bapa ke sini, apakah ada yang bisa kami bantu?) Utusan pria
:”kami mai noo keko tau wuru pawe,noo gare tau mane
jie”(kami datang dengan tujuan untuk membina hubungan baik) dan seterusnya
sampai orangtua si gadis memutuskan
bahwa musyawarah mufakat sudah selesai dan berpesan kepada utusan calon
pengantin pria bahwa empat belas hari lagi mereka boleh datang mengantar mas
kawin. Selesai orang tua wanita menyampaikan pesan di atas, utusan langsung
mengungkapkan pepatah:”setanga di kami
mai, sa eko di kami deki, tolo aku deki leka ata banga api” yang
berarti sepasang mas atau seekor hewan pun kami pasti datang, setelah kami
sampaikan hal ini kepada orangtua pria. Ungkapan ini sebagai tanda penghargaan
terhadap jasa dan jerih payah orangtua pengantin wanita.
Sebagai tanda peminangan,
utusan keluarga pengantin pria mengeluarkan barang bawahan berupa emas,
diletakkan dalam sebuah tempat sirih lalu menyerahkannya kepada orangtua calon
panganti wanita. Penyerahan ini disebut ”ruti
nata.” Selesainya acara peminangan, berarti ada ikatan antara kedua calon
pengantin, teristimewa calon pengantin wanita tidak bisa menerima lamaran dari
pria lain.
D.Tahap -Tahap Pengantaran Mas Kawin dalam Tradisi
Suku Lio[3]
Setelah pelamaran dan
peminangan, lalu dilanjutkan dengan pengantaran mas kawin yang dalam bahasa
suku ini disebut ”Tu Ngawu atau tu welhi.” Adapun
beberapa fase dalam pengantaran mas kawin ini, antara lain:
1. Tu
ngawu mbe’o sa’o
Arti pengantaran mas kawin dari pihak pria kepada pihak perempuan sebagai
tanda bahwa kedua keluarga ini sudah
terjalin hubungan kekeluargaan yang ideal dan harmonis. Maka calon pengantin
pria bebas mengunjungi rumah orangtua calon istrinya dan sebaliknya
2. Tu Ngawu
ria
Mas kawin
tahap kedua ini penyerahannya pada waktu yang sama tapi dalam beberapa tahap, antara
lain:
a. Ngawu welhi weki,yaitu mas kawin bermakna penghargaan terhadap harga diri calon
pengantin wanita. Artinya wanita mempunyai harga diri sehingga tidak dapat
diperjual belikan bagaikan barang. Maka harus diperlakukan dengan baik, dihargai
dan dijaga.
b. Ngawu buku taga, mas kawin sebagai tanda
terima kasih kepada kelurga wanita. Bagian ini pun dibagi dalam beberapa tahap
yakni:
ü Welhi
ae susu ine ialah Sebagai tanda terima kasih kepada ibu
yang telah
melahirkan dan memberi susu kepada calon
pengantin wanita.
ü Ngawu
welhi kape ate ine no’o welhi buku ema kao adalah Sebagai
tanda terima kasih untuk ibu dan ayah calon pengantin wanita yang setia, tulus
dan iklas menjaga dan merawat anak mereka.
ü Ngawuwelhi
eru wi’a adalah Mas kawin
pada bagian ini mengungkapkan terimakasih kepada keluarga calon pengantin wanita
yang akan berpisah dengan anak mereka.
ü Ngawu
weli ine pu’u kamu adalah
Mas kawin bagi om kandung calon pengantin wanita (saudara kandung dari ibu).
ü Welhi
jara saka tumba sau adalah
Mas kawin untuk saudara kandung dari calon penganti wanita (Nara Ndoa).
ü Welhi
deke mamo ialah Mas kawin
bagi kakek dan nenek calon pengantin wanita.
3. Tu Ngawu Nika adalah Mas kawin untuk urusan
penerimaan Sakramen pernikahan di gereja. Penyerahan mas kawin ini dilakukan
dalam beberapa tahap pada waktu yang sama (menjelang hari pernikahan) yaitu:
3.1 welhi pai naja adalah Mas kawin untuk mengurus segala administrasi dan
pemanggilan
nama di gereja.
3.2 soro
meja bowa lima adalah Mas kawin sebagai tanda melepaskan kepergian anak. Dengan ini orangtua calon pengantin wanita
dengan iklas melepaskan anak mereka
untuk diteguhkan dalam perkawinannya di gereja.
3.3
Welhi dari nika no’o eko nika adalah mas
kawin untuk mengurus dana acara resepsi/pesta
pernikahan.
E. Tahap Nira Nika(melihat proses perkawinan di gereja)
Walaupun mas kawin sudah
selesai diantarkan secara adat istiadat namun mereka tetap belum
sah menjadi suami-istri karena belum diteguhkan dengan ikatan perkawinan di gereja dalam sakramen
perkawinan. Oleh karena itu setelah
menyelesaikan seluruh rangkaian proses adat, maka kedua calon pengantin harus dikukuhkan
dalam sekramen perkawinan di gereja. Apabila kedua mempelai ini sudah melaksanakan
proses ritus perkawinan di gereja berarti kedua pasangan itu sudah sah menjadi
suami dan istri dalam memulai hidup bersama/hidup berkeluarga. Tradisi ini
sudah dimulai sejak Gereja katolik masuk dalam lingkungan budaya masyarakat
Lio.
F. Joka Ana/Tu Ana(melepaskan anak)[4]
Setelah
pernikahan di gereja, biasanya kedua pasangan tinggal di rumah orangtua pengantin
wanita selama 40 malam. Kemudian orangtua pengantin wanita mengantar mereka ke rumah orang tuan pengantin
laki-laki (sao tua nggae ko’o fai)
dan menetap di sana seumur hidup.
Pada kesempatan itu, orangtua pengantin
wanita membawa semacam bekal untuk kedua mempelai berupa: beras, padi, kue cucur (filu), emping (kibi), pisang
yang matang, arak (moke) dan beberapa
lembar kain tenun ikat seperti sarung
lipa, baju serta selendang. Hal ini sebagai tanda ungkapan terima kasih dan rasa
hormat kepada pihak orangtua laki-laki yang sudah menerima puteri mereka dan sekaligus
ikatan kekeluargaan yang lebih erat. orangtua pengantin wanita lalu
mengungkapkan kata pelepasan dan penyerahan dalam tradisi suku Lio sebagai
berikut”ina nu do buu,banga diwaja....nitu
nee nuka nua,painea tama keka...,dua mu jika dua mu ju” yang berarti: ia
sekarang abdi kamu...malapetaka apapun yang datang... menjadi kewajiban kamu
untuk mengatasinya bersama dia.
G. Penutup
Orang Ende umumnya dan suku Lio
khususnya menganut paham patrilineal. Bahwa laki-lakilah yang berperan dalam
keluarga. Meskipun demikian, bukan berarti martabat perempuan disepelehkan.
Dalam rangka menghargai dan menujunjung tinggi harkat dan martabat perempuanlah,
mas kawin ada dan dilestarikan turun temurun sebagai budaya.
Mas kawin ini merupakan bukti
cinta suami- istri, dan lambang ikatan kekeluargaan serta rasa kehormatan
antara keluarga kedua mempelai. Sebagai budaya, kebiasaan adanya mas kawin hendak
mengutarakan eksistensi penduduk suku Lio, sebagai pedunduk yang beradat
istiadat, menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai warisan leluhur.
Mengikuti ajaran dalam Gereja Katolik
bahwa perkawinan itu bersifat monogami, artinya suami - istri yang telah
diteguhkan dengan sakramen perkawinan, tidak bisa diceraikan oleh siapapun
kecuali maut menjemput, orang Lio juga memegang teguh dan mentaati apa yang telah tertulis dalam Kitab Suci (Mat 19:6)
bahwa: “apa yang telah dipersatukan Allah
tidak boleh diceraikan oleh manusia.”
Bukti ketaatan mereka ditampakkan dengan mengikuti persyaratan-persyaratan persiapan
penerimaan sakramen perkawinan Katolik seperti kursus persiapan perkawinan dan
pemeriksaan kanonik.
Tentang perkawinan yang tak
terceraikan, orang Lio mengatakan “uli
ago, bowa talo” artinya apa yang sudah menjadi satu tidak dapat dilepaskan
lagi. Ungkapan ini sangat menyatu dengan ajaran Gereja Katolik yang menguatkan,“apa yang telah dipersatukan
Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia”. Ungkapan ini menekankan bahwa
suami - istri yang telah dipersatukan Allah atas dasar cinta kasih harus menjaga
dan merawatnya hingga akhir hayat.
Mas kawin bukan dimakna secara
jasmaniah belaka, tapi lebih mengandung makna spiritual yang sangat dalam dan
mengikat terisimewa kedua mempelai dalam menjaga keutuhan rumah tangganya
hingga kekal. Adanya mas kawin dalam masyarakat Lio harus dimengerti dalam
konteks ini, sehingga tidak muncul anggapan bahwa terjadi jual beli kaum
perempuan di dalam masyarakat yang sama. Semoga tulisan sederhana ini dapat
memberi secuil penerangan bagi kita dalam upaya mengenal budaya perkawinan dan
penyerahan mas kawin di Ende umumnya dan suku Lio khususnya. Akhirnya penulis
sadar bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik di
nantikan dengan lapang dada.
Bibliografi
Komisi Kepausan Indonesia (KKI) dan Komisi Karya
Misioner KWI, SAWI dan Saran Karya Perutusan Gereja ,
Jakarta: Karya Kepausan Indonesia, 1990.
Misa wassa.L, Adat perkawinan orang
Lio, Ende: Nusa Indah.1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar