Sabtu, 28 April 2012

Emalera wulan ina tana eka


EKSISTENSI ALLAH MENURUT MASYARAKAT LAMAHOLOT
(LERA WULAN- TANA EKAN)

I. PENDAHULUAN

Pengalaman beragama setiap daerah berbeda karena latar budaya yang beraneka ragam itu mempunyai cara pengungkapan yang berbeda-beda tentang wujud tertinggi atau yang Ilahi. Cara serta simbol yang dipakai memang berbeda-beda, namun esensi dari pengungkapan itu ialah bahwa “yang Ilahi” itu adalah kudus, suci dan sakral[1]. Ketiga kata inilah yang paling mendekati ciri khas pengalaman beragama.
Sebutan atau nama yang dikatakan pada sesuatu itu sungguhlah bermakna. Demikian pun masyarakat Flores Timur yang menyatu dalam satu rumpun budaya Lamaholot[2] mengenali Allah sehingga sampai pada pemahaman mereka akan adanya Allah dengan sebutan ”Lera Wulan Tana Ekan ”.
Ungkapan ini sungguh mendarah daging dalam diri setiap warga Lamaholot, yang diakui sebagai ”Yang Kudus, Suci dan Sakral”. Dengan ungkapan ini, pemahaman mereka tentang Allah itu penuh rahasia dan tidak terbatas kesempurnaannya. Namun yang ”Ilahi” itu mereka alami di dalam dan melalui pengalaman tentang dunia yang mereka kenal. Yang Ilahi dapat kita alami melalui hal-hal alamiah atau duniawi namun sifatnya tidaklah duniawi. Ini terbukti dari sifat hormat dan sembah sujud terhadapNya.
Berdasarkan kenyataan inilah kami mencoba menggambarkan dan menganalisa secara kritis mengenai EKSISTENSI ALLAH BAGI MASYARAKAT LAMAHOLOT dalam ungkapan “LERA WULAN TANA EKAN”.
Kami pun menyadari tulisan kami ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan hati yang terbuka, kami menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman.

 II. SEKILAS LETAK GEOGRAFIS KABUPATEN FLORES TIMUR
            Kabupaten Flores Timur terbentuk bersamaan dengan terbentuknya propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang adalah hasil pemekaran dari Sunda Kecil, sekitar 50 tahun yang lalu. Seperti yang digambarkan oleh namanya, kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Flores. Awalnya, kabupaten ini terdiri dari daratan Pulau Flores bagian timur, Pulau Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Lembata. Beberapa tahun yang lalu, Lembata menjadi Kabupaten sendiri. Walaupun demikian, kesatuan keempat daratan ini masih terasa sampai saat ini.
Ibu Kota kabupaten Flores Timur adalah Larantuka, sebuah kota pelabuhan kecil sejak abad XV yang terletak pada 8,4 derajat lintang selatan dan 123 derajat bujur timur. Sisi selatan kota ini langsung turun ke laut, sedangkan utara langsung mendaki Gunung Mandiri. Masyarakat yang mendiami kabupaten ini adalah masyarakat Lamaholot hampir di semua desa dan kampung di kabupaten ini. Sedangkan Larantuka, kota kabupaten, sebagian besar didiami oleh masyarakat Melayu. Selain di kota Larantuka, masyarakat terakhir (Melayu) ini berdiam pula di Desa Wureh dan Desa Konga.

III. LERA WULAN TANA EKAN
Sebelum mengenal agama-agama besar seperti; Agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha, orang Lamaholot sudah mengenal Tuhan. Agama suku dan agama asli mengakui adanya Tuhan yang diyakini secara turun-temurun sejak zaman purba dan masih diakui sampai sekarang. Orang Lamaholot meyakini bahwa keberadaan manusia serta alam semesta merupakan hasil ciptaan dari suatu kekuatan Mahabesar dan Mahadahsyat yang berada di luar dirinya.[3] Orang lamaholot menyebut kekuatan itu dengan nama Lera Wulan Tana Ekan.
            Kepercayaan masyarakat Lamaholot mengenai ungkapan Lera Wulan Tana Ekan ini berkaitan erat dengan pengalaman hidup mereka yang selalu berhubungan langsung dengan alam, maka untuk mengetahuinya secara lebih mendalam, ungkapan tersebut dijelaskan dalam empat kelompok besar, yakni apa itu Lera Wulan?Apa itu Tanah Ekan? Apa hubungan antara Lera Wulan dan Tana Ekan? Serta apa sifat-sifat dari Lera Wulan Tana Ekan itu sendiri.

 3.1 Lera Wulan
            Secara harafiah Lera Wulan terdiri dari dua kata yakni; Lera yang berarti Matahari, dan Wulan yang berarti Bulan. Penamaan ini mempunyai pemahaman bahwa Sang Ilahi itu adalah “Yang Maha Tinggi”. Ia berada di atas segala ciptaanNya, pemberi terang dan kehidupan yang tak terbatas. Hidup manusia ada dalam lindungan dan penyelenggaraan-Nya. Dasarnya matahari dan bulan adalah yang menyinari bumi dan memberi kehidupan pada manusia dan segala tumbuhan yang menjadi sumber makanan manusia.[4]
            Matahari dan Bulan juga menjadi patokan perhitungan waktu setiap hari, karena masyarakat Lamaholot waktu itu belum mengenal alat pengukur waktu seperti jam. Bagi mereka bulan merupakan sarana perhitungan musim yang tepat untuk menghitung waktu bagi penanaman tumbuhan, perhitungan hari baik dan tidak, perhitungan pasang-surut air laut untuk pergi mencari ikan serta perhitungan untuk mengadakan ritus-ritus untuk menghormati Lera Wulan-Tana Ekan atau “wujud tertinggi”. Tanpa matahari dan bulan kehidupan tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini tampak dalam ungkapan “ Lera Wulan nein morit kame” (matahari dan bulan memberikan kehidupan kepada kami).[5]
Lera Wulan adalah benda langit (matahari dan bulan) yang berada jauh di tempat tinggi, dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Sesungguhnya, hal ini mengandung makna bahwa Tuhan itu berada di tempat yang tinggi, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia dan mesti diberi tempat tertinggi di atas segala sesuatu yang lain. Dalam percakapan sehari-hari, bila orang menyebut Lera Wulan, orang selalu menunjukkan jarinya ke atas langit. Penunjukan jari ini melambangkan bahwa Tuhan itu berada di atas atau berada di tempat yang tinggi.
Lera Wulan juga merupakan sumber terang dan ia adalah terang itu sendiri. Ia menerangi bumi dan alam semesta. Tanpa terang yang dipancarkan oleh matahari pada siang hari dan bulan pada malam hari, kehidupan di bumi tak dapat berjalan dengan baik. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa Tuhan itu adalah sumber kehidupan.[6] Dari langit, turunlah berkat bagi kehidupan di dunia. Berkat itu hadir dalam bentuk hujan, angin, embun, pergantian musim, dan lain sebagainya. Kedudukan Tuhan yang tinggi ini, mengandung makna bahwa Tuhan adalah pemberi hidup sekaligus menjadi penyelenggara kehidupan di bumi. Dialah penguasa langit dan bumi, penguasa alam semesta.

 3.2 Tana Ekan
            Secara harafiah Tana Ekan terdiri dari dua kata yakni Tana berarti “tanah” dan Ekan berarti “lahan”. Jadi Tana Ekan berarti bumi atau jagat raya. Bumi adalah tempat di mana manusia berpijak dan melangsungkan hidupnya. Tanah adalah bagian kehidupan mereka yang tak dapat dipisahkan. Boleh dikatakan tanpa bumi atau Tana Ekan manusia takkan pernah ada. Manusia hanya ada kalau ada bumi, karena bumi adalah tempat di mana manusia berpijak.[7]
            Menurut pemahaman masyarakat Lamaholot, Tana Ekan juga memberikan perlindungan kepada mereka karena jika bumi itu marah maka semua yang ada akan mati, misalnya; jika terjadi gempa atau bencana alam lainnya. Karena itu mereka selalu mengadakan ritus-ritus untuk menjaga dan menghormati Tana Ekan. Pemahaman akan perlindungan Tana Ekan ini terdapat dalam ungkapan “Tana Ekan liko lapak kame” (Tana Ekan memberikan perlindungan kepada kami).[8]
Tana Ekan adalah tempat hidup semua makhluk ciptaan manusia yang berada dekat dan bersama manusia. Simbolisasi ini mengandung makna bahwa selain berada di tempat yang tinggi dan jauh dari manusia, tapi Dia juga dekat. Dia tak terjangkau oleh indera manusia tetapi menjangkaui manusia sebab keberadaan-Nya dekat dan bersama manusia. Tana Ekan menerima berkat yang turun dari langit. Dia juga menyediakan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan manusia.[9]

 3.3 Hubungan antara Lera Wulan dan Tana Ekan (Lera Wulan-Tana Ekan)
            Ungkapan Lera Wulan dan Tana Ekan ini tak dapat dipisahkan atau tak dapat berdiri sendiri. Keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh. Dalam pemahaman inilah maka simbol atau cara membahasakan Wujud Tertinggi tidak hanya disebut Lera Wulan atau Tana Ekan sendiri atau secara terpisah-pisah, tetapi keduanya harus disatukan agar memiliki makna yang utuh mengenai Wujud Tertinggi itu. Ungkapan Lera Wulan Tana Ekan ini tersirat juga makna imanensi dan transeden sang Ilahi. Bagi masyarakat Lamoholot Allah selain jauh (transenden) dan Mahadahsyat tetapi juga dekat dan akrab dengan manusia (imanen).[10]
            Transenden itu terdapat dalam ungkapan nama Lera Wulan sebagai matahari dan bulan yang ada jauh di atas bumi yang dimengerti bahwa matahari dan bulan tak henti-hentinya memberikan sinarnya kepada manusia. Mereka (matahari dan bulan) tak pernah berhenti memberikan kehidupan bagi manusia meskipun berada di tempat yang jauh. Hal ini dapat disimak dalam ungkapan ”Allah teti kowa lolon, niku kame maan sare-sare (Allah yang berdiam di atas awan, semoga melihat kami dengan baik-baik). Ketransendenan Allah ini juga menunjukkan kemahadahsyatan Allah yang tak terhampiri, tapi dapat dialami dan dirasakan. Kedahsyatan Allah itu terdapat pada matahari yang dapat memberikan panasnya yang sangat panas sehingga membawa kematian bagi segala kehidupan di bumi ini.
            Allah dalam pemahaman masyarakat Lamaholot selain dilihat sebagai Allah yang jauh dan Mahadahsyat, juga Allah itu begitu dekat dengan manusia. Kedekatan dan keakraban Allah dengan manusia itu terdapat dalam ungkapan nama Allah Tana Ekan. Tanah yang menjadi tempat pijakan manusia, tempat manusia melangsungkan hidupnya, tempat manusia mencari dan mengusahakan kehidupan adalah simbol Allah yang dekat dan selalu menyediakan segala sesuatu demi hidup manusia. Manusia menjadi begitu dekat dengan Allah dan dapat berkomunikasi denganNya lewat memelihara alam dan lingkunganNya. Oleh karena itu, alam sangat dihormati oleh mereka. Mereka menganggap bahwa alam dengan segala isinya merupakan pengejawantaan wujud tertinggi. Mungkin secara kritis kita mengatakan bahwa pemahaman masyarakat Lamaholot itu jatuh pada pantheisme (paham yang mengatakan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan).
            Lera Wulan Tana Ekan telah menjadi simbol dari pencipta dan penyelenggara kehidupan, kekuatan terbesar, dan terdahsyat. Lamaholot berkeyakinan bahwa Lera Wulan Tana Ekan berada dengan sendirinya dan tak berkesudahan. Keyakinan ini nampak dalam ungkapan: Bego naen puken take-weli ekan miten pai. Bego rupan tala ladon, Lera gere (munculnya tak bersumber, dari alam gelap, munculnya bagai cahaya bintang, matahari terbit). [11]

3.4 Sifat-Sifat Lera Wulan Tana Ekan
Setiap aktivitas orang-orang Lamaholot senantiasa terpaut dengan sifat-sifat Tuhan atau Lera Wulan Tana Ekan. Adapun sifat-sifat Tuhan dalam nuansa ke-Lamaholotan itu antara lain sebagai berikut:
a) Ehan Tou (Tuhan Maha Esa)
Orang Lamaholot memahami Lera Wulan Tana Ekan sebagai Mahapencipta satu-satunya. Dia yang Maha Esa telah menciptakan alam semesta termasuk manusia. Manusia diciptakan oleh Dia yang Maha Esa dan diutus oleh-Nya untuk memanfaatkan dan merawat alam semesta. Oleh karena itu, sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada yang Maha Esa itu, manusia tidak diperkenankan menyembah yang lain selain kepada yang Maha Esa itu.
Hanya Dialah yang patut disembah oleh karena keEsaan, kebesaran dan keagunganNya (kaka belen ama yoga atau kaka belen ama blolan). Hanya namaNyalah yang patut dimuliakan (Lera Wulan narane poton pana, Tana Ekan makene sogan gawe). Manusia harus menjunjung tinggi kebesaranNya dan merendahkan diri di hadapanNya (hunge baat-tonga blolo koon Lera Wulan Tana Ekan. Lugu rere-maan onem sare-moon Lera Wulan Tana Ekan).



b) One Naen Waibanu Matik Naen Selan Tapo (Tuhan Mahakasih)
Orang Lamaholot sadar dan tahu bahwa Tuhan telah menyerahkan seluruh alam ciptaan-Nya, bumi dan segala isinya, kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Betapa besar belas kasih Tuhan kepada manusia.
Atas dasar sifat Mahakasih itu,  manusia selalu mengadakan hubungan dengan Lera Wulan Tana Ekan untuk memohon keselamatan, kesejukan dan kedamaian. Permohonan ini patut dialamatkan kepada-Nya sebab Lera Wulan Tana Ekan adalah sumber kesejukan, keselamatan dan kedamaian (gelete, gluor-gelete pelumut-gelete owa). Dialah tempat manusia memperoleh kesehatan yang baik, hasil kerja yang baik, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Lera Wulan Tana Ekan menjadi tempat manusia mencari perlindungan (liko lapak) karena Dialah satu-satunya pelindung agung bagi manusia dan seluruh alam (bliko ina, blapak ama). Pada Dialah manusia mengharapkan agar segala bencana dan malapetaka, baik berasal dari alam maupun karena ulah manusia dan tipu daya setan dapat di jauhkan.
Lera Wulan-Tana Ekan juga menjadi tempat manusia menyampaikan keluh kesahnya (prudut proin). Segala suka dan duka serta semua kebutuhan hidup manusia di sampaikan kepadaNya agar Ia menurunkan pertolongan. Dalam Dia dan bersama Dia, segala kesulitan bisa diatasi.
            c) Hube Naen, Galat Kae (Tuhan Yang Mahakuasa)
            Hidup dan mati manusia berada di tangan Tuhan. Kapan, di mana dan bagaimana kematian mendatangi seseorang, hanya Tuhanlah yang tahu dan hanya Dialah yang mengaturnya. Dia menjadi awal dan akhir dari kehidupan seorang manusia.
            Atas dasar kepercayaan bahwa karena Tuhan yang memberi hidup, maka ketika seseorang meninggal, orang-orang Lamaholot mengatakan Lera Wulan guti apan atau Lera Wulan mayaro (Tuhan mengambilnya kembali atau Tuhan memanggilnya kembali).
            d) Noon Tilun Noon Matan (Tuhan Mahatahu)
            Tuhan mengetahui pikiran, perkataan dan perbuatan manusia. Ada dua konsekuensi dari kemahatahuan Tuhan ini; pertama, Dia akan memberikan ganjaran atau pembalasan atas perbuatan baik manusia. Manusia yang berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan akan memperoleh rahmat dariNya. Kedua, atas perbuatan tidak baik, Tuhan akan memberikan hukuman atau kutukan yang langsung dialami manusia dalam hidupnya dan di akhirat nanti. Rahmat atau anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia yang baik hidupnya nampak dalam hal memperoleh penghasilan yang baik-murah rezeki, kesehatan yang baik, umur yang panjang, keturunan yang berhasil, dan lain sebagainya. Sedangkan hukuman atau kutukan dari Tuhan nampak dalam hal-hal seperti; tidak memperoleh penghasilan yang baik, sakit, tidak dikaruniakan keturunan, ditimpa bencana alam, serangan hama, kematian yang tidak wajar, dan lain sebagainya.[12]

IV. PEMAHAMAN ORANG LAMAHOLOT MENGENAI LERA WULAN TANA EKAN

 4.1 Kepercayaan Masyarakat Lamaholot Zaman Dahulu
            Pada zaman dahulu masyarakat Lamaholot sudah meyakini dan percaya akan adanya Allah, tetapi mereka tidak sanggup mengungkapkan adanya Allah itu. Mereka menyebut nama wujud tertinggi itu dengan simbol Lera Wulan Tana Ekan. Tanda kehadiran Wujud Tertinggi itu mereka imani lewat Nuba Nara[13]. Nuba Nara ini sebagai perantara antara Allah dan manusia.
            Nuba Nara adalah satu onggokan batu-batu kecil, sebesar kepalan tangan yang bundar dan licin yang terletak di depan korke[14], dan berada di tengah-tengah pelataran tempat orang menari dan membawakan persembahan[15]. Nuba Nara ini sebagai tempat tinggal Lera Wulan Tana Ekan. Batu Nuba Nara serta tempat di sekitarnya harus bersih dari rerumputan. Orang tidak boleh menghinanya dengan perkataan dan perbuatan, serta tidak boleh menginjak-injaknya. Semua anggota suku, dari yang tertua sampai yang terkecil, harus hadir di depan batu Nuba Nara pada perayaan pesta-pesta Korke. Pada setiap pesta yang lain pun, batu-batu Nuba Nara harus mendapat bagiannya karena diyakini bahwa batu tersebut seperti orang tua yang melahirkan kita.
            Jadi Nuba Nara menurut pandangan orang Lamaholot dulu yang belum mengenal gereja adalah sebagai tempat suci di mana mereka dapat menyampaikan permohonan, misalnya; mendatangkan hujan, supaya panenan berhasil, terhindar dari gangguan hidup, terhindar dari penyakit dan lain-lain yang berkaitan dengan membangun rumah, terhindar dari bencana alam yang merugikan hidup mereka dan menang dari perang. Namun selain itu juga berupa ucapan syukur seperti ucapan syukur atas keberhasilan panenan, sembuh dari sakit, menang dari perang serta syukur atas terselenggaranya pesta adat, dan lain-lain. Dalam setiap doa yang diucapkan para tua adat dan masyarakat lain, doa-doa yang di dalamnya terdapat kalimat Lera Wulan Tana Ekan selalu didendangkan seperti berikut: Lera Wualan Tana Ekan nein kame kuat kemuha, ti kame akena goka pewaletem pi raran ni. Naku jaga gerihan kame ti kame akena berarakem, noon nein kame rezeki limpah de aya, ti kame bisa moripem pi tana lolon ni. (Lera Wulan Tana Ekan berikan kami kekuatan, supaya kami tidak jatuh dalam pencobaan dalam hidup ini. Tapi, lindungilah kami selalu agar kami tidak sakit, dan berikanlah kami selalu rezeki yang limpah, agar kami bisa hidup di dunia ini).

4.2 Kepercayaan Masyarakat Lamaholot Setelah Masuknya Agama Katolik
            Kekristenan yang berkembang pada masyarakat Lamaholot ini sesungguhnya ditenun dari suatu proses sejarah yang panjang dalam bingkai waktu dan kompleksitas budaya umat dan masyarakat. Tapi penyebaran itu tidaklah gampang menghadapi masyarakat Lamaholot yang sudah mendarah daging dengan adat yang dihidupi mereka. Sejalan dengan pergantian waktu, para misionaris memperkenalkan Agama Katolik lewat katekese-katekese, dan mulai membaptis masyarakat Lamaholot untuk masuk Katolik. Dalam pengajaran, para misionaris tidak menolak kepercayaan Allah lewat ungkapan Lera Wulan Tana Ekan. Malahan mereka mendukung kepercayaan itu dengan mengatakan bahwa Allah itu Maha tinggi seperti “Lera Wulan dan sekarang Allah juga ada di bumi dekat dengan kita seperti “Tana Ekan”. Pengalaman di hadapan Nuba Nara dan berbagai ritus yang dipraktekkan oleh masyarakat Lamaholot ini merupakan tolak pijak untuk berkiblat kepada Allah. Allah memberi terang ke bawah bumi ini supaya memperoleh kehidupan. Orang-orang mulai sadar bahwa wujud tertinggi yang mereka imani sama dengan Allah dalam kepercayaan Agama Katolik. Akhirnya mereka perlahan-lahan mulai menerima Agama Katolik sebagai agama yang dianut mereka hingga saat ini, tanpa menghilangkan kepercayaan dan adat yang telah dianut sejak dahulu itu.

            Ungkapan Lera Wulan Tana Ekan selain digunakan dalam bahasa adat, digunakan juga dalam agama, di sekolah, dalam berpidato, dan dalam upacara-upacara formal lainnya. Di samping mereka menghormati adat, mereka juga menghormati agama. Kami sangat yakin dan percaya bahwa ungkapan ini tidak akan punah, melainkan tetap dikumandangkan oleh generasi-generasi penerus di kemudian hari.

V. PENUTUP
            Dari keseluruhan uraian kami di atas dapatlah kita melihatnya bagaimana pemahaman akan eksistensi Allah dalam ungkapan Lera Wulan Tana Ekan menurut masyarakat Lamaholot. Masyarakat Lamaholot sebelum mengenal Agama Katolik, mereka telah mempunyai pemahaman tentang siapakah Allah itu? Allah bagi mereka begitu Maha tinggi, agung, dan luhur (Lera Wulan) tetapi sekaligus dekat (Tana Ekan) tidak dapat dibahasakan dengan nama yang sebenarnya selain dengan “simbol”. Akan tetapi esensi dari pengalaman itu menunjukkan eksistensi Allah yang memberikan hidup bagi mereka. Bagi masyarakat Lamaholot hidup itu dapat berjalan kalau Allah yang adalah wujud tertinggi itu tetap menyertai kita. Segala dimensi kehidupan mereka ada dalam tangan dan berhubungan langsung dengan Sang hidup yang mereka namakan Lera Wulan Tana Ekan. Semoga Lera Wulan Tana Ekan selalu memberkati kami berenam ini sebagai generasi penerus bangsa dan Lewotana[16] Lamaholot tercinta ini.










DAFTAR PUSTAKA

            Arndt, Paul. Agama Asli Di Kepulauan Solor. Maumere: Puslit Candradity, 2009.

Watun, Lambert Doni. Majalah Flobamora. Pematangsiantar: ([tanpa penerbit]),    1996.

Kean, Rofinus Nara, dkk. Selayang Pandang Budaya Lamaholot. Larantuka: Offcet CV. Jori, 2008.



[1]  Lambert Doni Watun. Majalah Flobamora (Pematangsiantar: ([tanpa penerbit]), 1996), hlm.16.

[2] Lamaholot berasal dari dua kata, yakni Lama dan Holot. Lama artinya kasta dan Holot berkembang dari kata Zelot yang berarti kuningan emas. Jadi Lamaholot berarti kasta emas. Kasta yang tinggi dan tidak bisa dipandang rendah.
                [3] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang Pandang Budaya Lamaholot (Larantuka: Offcet CV. Jovi
Stender, 2008), hlm. 9.

[4] Lambert Doni Watun Majalah..., hlm.17.

[5] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.17.

                [6] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang..., hlm. 10-11.

[7] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.17.

[8] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.17.

                [9] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang..., hlm.11.

[10] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.18-19.


                [11]  Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang..., hlm. 12-15.

                [12] Rofinus Nara Kean, dkk, Selayang..., hlm. 12-15.

                [13] Secara etimologis Nuba Nara berasal dari kata Tubak dan Tarak. Tubak artinya menikam atau jatuh tertikam dari atas, dan Tarak artinya tertikam, mengarah ke tempat datangnya tikaman atau dari mana datangnya kejatuhan. Dari sini dapat dimengerti bahwa jurusan datangnya tikaman adalah langit, surga; sedangkan tempat tikaman atau tujuan tikaman adalah bumi/dunia. Nuba adalah surga yang menjatuhkan diri, turun ke dalam dunia; Nara adalah surga yang tinggal tertanam dalam dunia dan menjadi satu dengan dunia. Nuba Nara juga mengungkapkan keterpisahan surga dan bumi.hal ini terbaca dalam koda atau ungkapan adat (sabda): Lera Wulan gikat teti lodo hau,Tana Ekan tama lali gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin taan ro uin na, gahan taan ro kahana (surga turun dari atas, bumi naik dari bawah, menjadi satu hati, satu kata, satu ikat, satu berkas, tak terurai, tak terpisah-pisahkan.)

                [14] Korke berarti rumah adat masyarakat Lamaholot.

                [15] Paul Arndt, Agama Asli Di Kepulauan Solor (Maumere: Puslit Candradity,2009), hlm.170.
                [16] Lewotana terdiri dari dua kata, yakni; Lewo yang berarti “kampung”, dan Tana yang berarti “tanah atau halaman”. Jadi Lewotana berarti kampung halaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar