EKSISTENSI ALLAH MENURUT
MASYARAKAT LAMAHOLOT
(LERA WULAN- TANA EKAN)
I. PENDAHULUAN
Pengalaman beragama setiap daerah berbeda karena latar
budaya yang beraneka ragam itu mempunyai cara pengungkapan yang berbeda-beda
tentang wujud tertinggi atau yang Ilahi. Cara serta simbol yang dipakai memang
berbeda-beda, namun esensi dari pengungkapan itu ialah bahwa “yang Ilahi” itu
adalah kudus, suci dan sakral[1].
Ketiga kata inilah yang paling mendekati ciri khas pengalaman beragama.
Sebutan atau nama yang dikatakan pada sesuatu itu sungguhlah
bermakna. Demikian pun masyarakat Flores Timur yang menyatu dalam satu rumpun
budaya Lamaholot[2]
mengenali Allah sehingga sampai pada pemahaman mereka akan adanya Allah dengan
sebutan ”Lera Wulan Tana Ekan ”.
Ungkapan ini sungguh mendarah daging dalam diri setiap
warga Lamaholot, yang diakui sebagai ”Yang Kudus, Suci dan Sakral”. Dengan
ungkapan ini, pemahaman mereka tentang Allah itu penuh rahasia dan tidak
terbatas kesempurnaannya. Namun yang ”Ilahi” itu mereka alami di dalam dan
melalui pengalaman tentang dunia yang mereka kenal. Yang Ilahi dapat kita alami
melalui hal-hal alamiah atau duniawi namun sifatnya tidaklah duniawi. Ini
terbukti dari sifat hormat dan sembah sujud terhadapNya.
Berdasarkan kenyataan inilah kami mencoba menggambarkan dan
menganalisa secara kritis mengenai “EKSISTENSI ALLAH BAGI MASYARAKAT LAMAHOLOT” dalam ungkapan “LERA WULAN TANA EKAN”.
Kami pun menyadari tulisan kami ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu dengan hati yang terbuka, kami menerima kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca yang budiman.
II. SEKILAS LETAK GEOGRAFIS KABUPATEN FLORES
TIMUR
Kabupaten Flores Timur terbentuk
bersamaan dengan terbentuknya propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang adalah
hasil pemekaran dari Sunda Kecil, sekitar 50 tahun yang lalu. Seperti yang
digambarkan oleh namanya, kabupaten ini terletak di ujung timur Pulau Flores.
Awalnya, kabupaten ini terdiri dari daratan Pulau Flores bagian timur, Pulau
Adonara, Pulau Solor, dan Pulau Lembata. Beberapa tahun yang lalu, Lembata
menjadi Kabupaten sendiri. Walaupun demikian, kesatuan keempat daratan ini
masih terasa sampai saat ini.
Ibu Kota kabupaten Flores Timur adalah Larantuka, sebuah
kota pelabuhan kecil sejak abad XV yang terletak pada
8,4 derajat lintang selatan dan 123 derajat bujur timur. Sisi selatan kota ini
langsung turun ke laut, sedangkan utara langsung mendaki Gunung Mandiri.
Masyarakat yang mendiami kabupaten ini adalah masyarakat Lamaholot hampir di
semua desa dan kampung di kabupaten ini. Sedangkan Larantuka, kota kabupaten,
sebagian besar didiami oleh masyarakat Melayu. Selain di kota Larantuka,
masyarakat terakhir (Melayu) ini berdiam pula di Desa Wureh dan Desa Konga.
III. LERA WULAN TANA EKAN
Sebelum mengenal agama-agama besar seperti; Agama Islam,
Kristen, Hindu dan Budha, orang Lamaholot sudah mengenal Tuhan. Agama suku dan
agama asli mengakui adanya Tuhan yang diyakini secara turun-temurun sejak zaman
purba dan masih diakui sampai sekarang. Orang Lamaholot meyakini bahwa
keberadaan manusia serta alam semesta merupakan hasil ciptaan dari suatu
kekuatan Mahabesar dan Mahadahsyat yang berada di luar dirinya.[3] Orang lamaholot menyebut kekuatan itu dengan nama Lera Wulan Tana Ekan.
Kepercayaan masyarakat Lamaholot
mengenai ungkapan Lera Wulan Tana Ekan
ini berkaitan erat dengan pengalaman hidup mereka yang selalu berhubungan
langsung dengan alam, maka untuk mengetahuinya secara lebih mendalam, ungkapan
tersebut dijelaskan dalam empat kelompok besar, yakni apa itu Lera Wulan?Apa itu Tanah Ekan? Apa hubungan antara Lera
Wulan dan Tana Ekan? Serta apa sifat-sifat dari Lera Wulan Tana Ekan itu sendiri.
3.1 Lera Wulan
Secara harafiah Lera Wulan terdiri dari dua kata yakni; Lera yang berarti Matahari,
dan Wulan yang berarti Bulan. Penamaan ini mempunyai pemahaman
bahwa Sang Ilahi itu adalah “Yang Maha Tinggi”. Ia berada di atas segala
ciptaanNya, pemberi terang dan kehidupan yang tak terbatas. Hidup manusia ada
dalam lindungan dan penyelenggaraan-Nya. Dasarnya matahari dan bulan adalah
yang menyinari bumi dan memberi kehidupan pada manusia dan segala tumbuhan yang
menjadi sumber makanan manusia.[4]
Matahari dan Bulan juga menjadi
patokan perhitungan waktu setiap hari, karena masyarakat Lamaholot waktu itu
belum mengenal alat pengukur waktu seperti jam. Bagi mereka bulan merupakan
sarana perhitungan musim yang tepat untuk menghitung waktu bagi penanaman
tumbuhan, perhitungan hari baik dan tidak, perhitungan pasang-surut air laut
untuk pergi mencari ikan serta perhitungan untuk mengadakan ritus-ritus untuk
menghormati Lera Wulan-Tana Ekan atau
“wujud tertinggi”. Tanpa matahari dan bulan kehidupan tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya. Hal ini tampak dalam ungkapan “ Lera Wulan nein morit kame” (matahari dan bulan memberikan
kehidupan kepada kami).[5]
Lera
Wulan adalah benda langit (matahari dan bulan) yang
berada jauh di tempat tinggi, dan tidak dapat dijangkau oleh indera manusia.
Sesungguhnya, hal ini mengandung makna bahwa Tuhan itu berada di tempat yang
tinggi, tidak dapat dijangkau oleh akal manusia dan mesti diberi tempat
tertinggi di atas segala sesuatu yang lain. Dalam percakapan sehari-hari, bila
orang menyebut Lera Wulan, orang
selalu menunjukkan jarinya ke atas langit. Penunjukan jari ini melambangkan
bahwa Tuhan itu berada di atas atau berada di tempat yang tinggi.
Lera Wulan juga merupakan sumber terang dan ia adalah terang
itu sendiri. Ia menerangi bumi dan alam semesta. Tanpa terang yang dipancarkan
oleh matahari pada siang hari dan bulan pada malam hari, kehidupan di bumi tak
dapat berjalan dengan baik. Dalam konteks ini, dapatlah dikatakan bahwa Tuhan
itu adalah sumber kehidupan.[6] Dari langit, turunlah berkat bagi
kehidupan di dunia. Berkat itu hadir dalam bentuk hujan, angin, embun,
pergantian musim, dan lain sebagainya. Kedudukan Tuhan yang tinggi ini,
mengandung makna bahwa Tuhan adalah pemberi hidup sekaligus menjadi
penyelenggara kehidupan di bumi. Dialah penguasa langit dan bumi, penguasa alam
semesta.
3.2 Tana
Ekan
Secara harafiah Tana Ekan terdiri dari dua kata yakni Tana berarti “tanah” dan Ekan
berarti “lahan”. Jadi Tana Ekan
berarti bumi atau jagat raya. Bumi
adalah tempat di mana manusia berpijak dan melangsungkan hidupnya. Tanah adalah
bagian kehidupan mereka yang tak dapat dipisahkan. Boleh dikatakan tanpa bumi
atau Tana Ekan manusia takkan pernah
ada. Manusia hanya ada kalau ada bumi, karena bumi adalah tempat di mana
manusia berpijak.[7]
Menurut pemahaman masyarakat Lamaholot,
Tana Ekan juga memberikan
perlindungan kepada mereka karena jika bumi itu marah maka semua yang ada akan
mati, misalnya; jika terjadi gempa atau bencana alam lainnya. Karena itu mereka selalu
mengadakan ritus-ritus untuk menjaga dan menghormati Tana Ekan. Pemahaman akan perlindungan Tana Ekan ini terdapat dalam ungkapan “Tana Ekan liko lapak kame”
(Tana Ekan memberikan perlindungan kepada kami).[8]
Tana Ekan adalah tempat hidup semua makhluk ciptaan manusia yang berada dekat
dan bersama manusia. Simbolisasi ini mengandung makna bahwa selain berada di
tempat yang tinggi dan jauh dari manusia, tapi Dia juga dekat. Dia tak
terjangkau oleh indera manusia tetapi menjangkaui manusia sebab keberadaan-Nya
dekat dan bersama manusia. Tana Ekan
menerima berkat yang turun dari langit. Dia juga menyediakan segala sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan manusia.[9]
3.3 Hubungan
antara Lera Wulan dan Tana Ekan (Lera Wulan-Tana Ekan)
Ungkapan Lera Wulan dan Tana Ekan
ini tak dapat dipisahkan atau tak dapat berdiri sendiri. Keduanya menjadi satu
kesatuan yang utuh. Dalam pemahaman inilah maka simbol atau cara membahasakan Wujud
Tertinggi tidak hanya disebut Lera Wulan
atau Tana Ekan sendiri atau secara
terpisah-pisah, tetapi keduanya harus disatukan agar memiliki makna yang utuh
mengenai Wujud Tertinggi itu. Ungkapan Lera
Wulan Tana Ekan ini tersirat juga makna imanensi dan transeden sang Ilahi.
Bagi masyarakat Lamoholot Allah selain jauh (transenden) dan Mahadahsyat tetapi
juga dekat dan akrab dengan manusia (imanen).[10]
Transenden itu terdapat dalam
ungkapan nama Lera Wulan sebagai matahari dan bulan yang
ada jauh di atas bumi yang dimengerti bahwa matahari dan bulan tak
henti-hentinya memberikan sinarnya kepada manusia. Mereka (matahari dan bulan)
tak pernah berhenti memberikan kehidupan bagi manusia meskipun berada di tempat
yang jauh. Hal ini dapat disimak dalam ungkapan ”Allah teti kowa lolon, niku kame maan sare-sare (Allah yang berdiam
di atas awan, semoga melihat kami dengan baik-baik). Ketransendenan Allah ini
juga menunjukkan kemahadahsyatan Allah yang tak terhampiri, tapi dapat dialami
dan dirasakan. Kedahsyatan Allah itu terdapat pada matahari yang dapat memberikan
panasnya yang sangat panas sehingga membawa kematian bagi segala kehidupan di
bumi ini.
Allah dalam pemahaman masyarakat
Lamaholot selain dilihat sebagai Allah yang jauh dan Mahadahsyat, juga Allah
itu begitu dekat dengan manusia. Kedekatan dan keakraban Allah dengan manusia
itu terdapat dalam ungkapan nama Allah Tana
Ekan. Tanah yang menjadi tempat pijakan manusia, tempat manusia
melangsungkan hidupnya, tempat manusia mencari dan mengusahakan kehidupan
adalah simbol Allah yang dekat dan selalu menyediakan segala sesuatu demi hidup
manusia. Manusia menjadi begitu dekat dengan Allah dan dapat berkomunikasi
denganNya lewat memelihara alam dan lingkunganNya. Oleh karena itu, alam sangat
dihormati oleh mereka. Mereka menganggap bahwa alam dengan segala isinya
merupakan pengejawantaan wujud tertinggi. Mungkin secara kritis kita mengatakan
bahwa pemahaman masyarakat Lamaholot itu jatuh pada pantheisme (paham yang
mengatakan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan).
Lera
Wulan Tana Ekan telah menjadi simbol dari pencipta dan penyelenggara
kehidupan, kekuatan terbesar, dan terdahsyat. Lamaholot berkeyakinan bahwa Lera Wulan Tana Ekan berada dengan sendirinya dan tak berkesudahan.
Keyakinan ini nampak dalam ungkapan: Bego
naen puken take-weli ekan miten pai. Bego rupan tala ladon, Lera gere (munculnya
tak bersumber, dari alam gelap, munculnya bagai cahaya bintang, matahari
terbit). [11]
3.4 Sifat-Sifat Lera Wulan Tana Ekan
Setiap aktivitas
orang-orang Lamaholot senantiasa terpaut dengan sifat-sifat Tuhan atau Lera Wulan Tana Ekan. Adapun sifat-sifat Tuhan dalam nuansa ke-Lamaholotan
itu antara lain sebagai berikut:
a) Ehan Tou (Tuhan Maha Esa)
Orang
Lamaholot memahami Lera Wulan Tana Ekan
sebagai Mahapencipta satu-satunya. Dia yang Maha Esa telah menciptakan alam
semesta termasuk manusia. Manusia diciptakan oleh Dia yang Maha Esa dan diutus
oleh-Nya untuk memanfaatkan dan merawat alam semesta. Oleh karena itu, sebagai
wujud rasa syukur dan terima kasih kepada yang Maha Esa itu, manusia tidak
diperkenankan menyembah yang lain selain kepada yang Maha Esa itu.
Hanya Dialah
yang patut disembah oleh karena keEsaan, kebesaran dan keagunganNya (kaka belen ama yoga atau kaka belen ama
blolan). Hanya namaNyalah yang patut dimuliakan (Lera Wulan narane poton pana, Tana Ekan makene sogan gawe). Manusia
harus menjunjung tinggi kebesaranNya dan merendahkan diri di hadapanNya (hunge baat-tonga blolo koon Lera Wulan Tana
Ekan. Lugu rere-maan onem sare-moon Lera Wulan Tana Ekan).
b) One Naen Waibanu Matik Naen Selan Tapo
(Tuhan Mahakasih)
Orang Lamaholot
sadar dan tahu bahwa Tuhan telah menyerahkan seluruh alam ciptaan-Nya, bumi dan
segala isinya, kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Betapa
besar belas kasih Tuhan kepada manusia.
Atas dasar
sifat Mahakasih itu, manusia selalu
mengadakan hubungan dengan Lera Wulan
Tana Ekan untuk memohon keselamatan, kesejukan dan kedamaian. Permohonan
ini patut dialamatkan kepada-Nya sebab Lera
Wulan Tana Ekan adalah sumber kesejukan, keselamatan dan kedamaian (gelete, gluor-gelete pelumut-gelete owa).
Dialah tempat manusia memperoleh kesehatan yang baik, hasil kerja yang baik,
kesejahteraan dan kebahagiaan.
Lera Wulan Tana Ekan menjadi tempat manusia mencari perlindungan (liko lapak) karena Dialah satu-satunya
pelindung agung bagi manusia dan seluruh alam (bliko ina, blapak ama). Pada Dialah manusia mengharapkan agar segala bencana
dan malapetaka, baik berasal dari alam maupun karena ulah manusia dan tipu daya
setan dapat di jauhkan.
Lera Wulan-Tana Ekan juga menjadi tempat manusia menyampaikan keluh
kesahnya (prudut proin). Segala suka
dan duka serta semua kebutuhan hidup manusia di sampaikan kepadaNya agar Ia
menurunkan pertolongan. Dalam
Dia dan bersama Dia, segala kesulitan bisa diatasi.
c)
Hube Naen, Galat Kae (Tuhan Yang
Mahakuasa)
Hidup
dan mati manusia berada di tangan Tuhan. Kapan, di mana dan bagaimana kematian
mendatangi seseorang, hanya Tuhanlah yang tahu dan hanya Dialah yang
mengaturnya. Dia menjadi awal dan akhir dari kehidupan seorang manusia.
Atas
dasar kepercayaan bahwa karena Tuhan yang memberi hidup, maka ketika seseorang
meninggal, orang-orang Lamaholot mengatakan Lera
Wulan guti apan atau Lera Wulan
mayaro (Tuhan mengambilnya kembali atau Tuhan memanggilnya kembali).
d)
Noon Tilun Noon Matan (Tuhan
Mahatahu)
Tuhan
mengetahui pikiran, perkataan dan perbuatan manusia. Ada dua konsekuensi dari
kemahatahuan Tuhan ini; pertama, Dia
akan memberikan ganjaran atau pembalasan atas perbuatan baik manusia. Manusia
yang berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan akan memperoleh rahmat dariNya. Kedua, atas perbuatan tidak baik, Tuhan
akan memberikan hukuman atau kutukan yang langsung dialami manusia dalam
hidupnya dan di akhirat nanti. Rahmat atau anugerah yang diberikan Tuhan kepada
manusia yang baik hidupnya nampak dalam hal memperoleh penghasilan yang
baik-murah rezeki, kesehatan yang baik, umur yang panjang, keturunan yang
berhasil, dan lain sebagainya. Sedangkan hukuman atau kutukan dari Tuhan nampak
dalam hal-hal seperti; tidak memperoleh penghasilan yang baik, sakit, tidak dikaruniakan
keturunan, ditimpa bencana alam, serangan hama, kematian yang tidak wajar, dan
lain sebagainya.[12]
IV. PEMAHAMAN ORANG LAMAHOLOT
MENGENAI LERA WULAN TANA EKAN
4.1 Kepercayaan Masyarakat Lamaholot Zaman
Dahulu
Pada zaman dahulu masyarakat Lamaholot
sudah meyakini dan percaya akan adanya Allah, tetapi mereka tidak sanggup
mengungkapkan adanya Allah itu. Mereka menyebut nama wujud tertinggi itu dengan
simbol Lera Wulan Tana Ekan. Tanda kehadiran Wujud Tertinggi itu mereka imani
lewat Nuba Nara[13].
Nuba Nara ini sebagai perantara antara Allah dan manusia.
Nuba Nara adalah satu onggokan batu-batu
kecil, sebesar kepalan tangan yang bundar dan licin yang terletak di depan
korke[14],
dan berada di tengah-tengah pelataran tempat orang menari dan membawakan
persembahan[15]. Nuba
Nara ini sebagai tempat tinggal Lera
Wulan Tana Ekan. Batu Nuba Nara serta tempat di sekitarnya harus bersih
dari rerumputan. Orang tidak boleh menghinanya dengan perkataan dan perbuatan, serta
tidak boleh menginjak-injaknya. Semua anggota suku, dari yang tertua sampai
yang terkecil, harus hadir di depan batu Nuba Nara pada perayaan pesta-pesta Korke.
Pada setiap pesta yang lain pun, batu-batu Nuba Nara harus mendapat bagiannya
karena diyakini bahwa batu tersebut seperti orang tua yang melahirkan kita.
Jadi Nuba Nara menurut pandangan
orang Lamaholot dulu yang belum mengenal gereja adalah sebagai tempat suci di
mana mereka dapat menyampaikan permohonan, misalnya; mendatangkan hujan, supaya
panenan berhasil, terhindar dari gangguan hidup, terhindar dari penyakit dan
lain-lain yang berkaitan dengan membangun rumah, terhindar dari bencana alam
yang merugikan hidup mereka dan menang dari perang. Namun selain itu juga
berupa ucapan syukur seperti ucapan syukur atas keberhasilan panenan, sembuh
dari sakit, menang dari perang serta syukur atas terselenggaranya pesta adat,
dan lain-lain. Dalam setiap doa yang diucapkan para tua adat dan masyarakat
lain, doa-doa yang di dalamnya terdapat kalimat Lera Wulan Tana Ekan selalu didendangkan seperti berikut: Lera Wualan Tana Ekan nein kame kuat kemuha,
ti kame akena goka pewaletem pi raran ni. Naku jaga gerihan kame ti kame akena
berarakem, noon nein kame rezeki limpah de aya, ti kame bisa moripem pi tana
lolon ni. (Lera Wulan Tana Ekan berikan kami kekuatan, supaya kami tidak
jatuh dalam pencobaan dalam hidup ini. Tapi, lindungilah kami selalu agar kami
tidak sakit, dan berikanlah kami selalu rezeki yang limpah, agar kami bisa
hidup di dunia ini).
4.2 Kepercayaan Masyarakat
Lamaholot Setelah Masuknya Agama Katolik
Kekristenan yang berkembang pada
masyarakat Lamaholot ini sesungguhnya ditenun dari suatu proses sejarah yang
panjang dalam bingkai waktu dan kompleksitas budaya umat dan masyarakat. Tapi
penyebaran itu tidaklah gampang menghadapi masyarakat Lamaholot yang sudah
mendarah daging dengan adat yang dihidupi mereka. Sejalan dengan pergantian
waktu, para misionaris memperkenalkan Agama Katolik lewat katekese-katekese,
dan mulai membaptis masyarakat Lamaholot untuk masuk Katolik. Dalam pengajaran,
para misionaris tidak menolak kepercayaan Allah lewat ungkapan Lera Wulan
Tana Ekan. Malahan mereka mendukung kepercayaan itu dengan mengatakan bahwa
Allah itu Maha tinggi seperti “Lera Wulan”
dan sekarang Allah juga ada di bumi dekat dengan kita seperti “Tana Ekan”.
Pengalaman di hadapan Nuba Nara dan berbagai ritus yang dipraktekkan oleh masyarakat
Lamaholot ini merupakan tolak pijak untuk berkiblat kepada Allah. Allah memberi
terang ke bawah bumi ini supaya memperoleh kehidupan. Orang-orang mulai sadar
bahwa wujud tertinggi yang mereka imani sama dengan Allah dalam kepercayaan Agama
Katolik. Akhirnya mereka perlahan-lahan mulai menerima Agama Katolik sebagai
agama yang dianut mereka hingga saat ini, tanpa menghilangkan kepercayaan dan
adat yang telah dianut sejak dahulu itu.
Ungkapan Lera Wulan Tana Ekan selain digunakan dalam bahasa adat, digunakan
juga dalam agama, di sekolah, dalam berpidato, dan dalam upacara-upacara formal
lainnya. Di samping mereka menghormati adat, mereka juga menghormati agama. Kami
sangat yakin dan percaya bahwa ungkapan ini tidak akan punah, melainkan tetap dikumandangkan
oleh generasi-generasi penerus di kemudian hari.
V. PENUTUP
Dari keseluruhan uraian kami di atas
dapatlah kita melihatnya bagaimana pemahaman akan eksistensi Allah dalam
ungkapan Lera Wulan Tana Ekan menurut
masyarakat Lamaholot. Masyarakat Lamaholot sebelum mengenal Agama Katolik,
mereka telah mempunyai pemahaman tentang siapakah Allah itu? Allah bagi mereka
begitu Maha tinggi, agung, dan luhur (Lera Wulan) tetapi sekaligus dekat (Tana
Ekan) tidak dapat dibahasakan dengan nama yang sebenarnya selain dengan “simbol”.
Akan tetapi esensi dari pengalaman itu menunjukkan eksistensi Allah yang
memberikan hidup bagi mereka. Bagi masyarakat Lamaholot hidup itu dapat
berjalan kalau Allah yang adalah wujud tertinggi itu tetap menyertai kita.
Segala dimensi kehidupan mereka ada dalam tangan dan berhubungan langsung
dengan Sang hidup yang mereka namakan Lera
Wulan Tana Ekan. Semoga Lera Wulan
Tana Ekan selalu memberkati kami berenam ini sebagai generasi penerus
bangsa dan Lewotana[16]
Lamaholot tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arndt,
Paul. Agama Asli Di Kepulauan Solor. Maumere:
Puslit Candradity, 2009.
Watun, Lambert Doni. Majalah
Flobamora. Pematangsiantar: ([tanpa penerbit]), 1996.
Kean, Rofinus
Nara, dkk. Selayang Pandang Budaya
Lamaholot. Larantuka: Offcet CV. Jori, 2008.
[1] Lambert
Doni Watun. Majalah Flobamora
(Pematangsiantar: ([tanpa penerbit]), 1996), hlm.16.
[2] Lamaholot berasal dari dua kata, yakni
Lama dan Holot. Lama artinya kasta
dan Holot berkembang dari kata Zelot yang berarti kuningan emas. Jadi Lamaholot
berarti kasta emas. Kasta yang tinggi dan tidak bisa dipandang rendah.
Stender,
2008), hlm. 9.
[8] Lambert Doni Watun, Majalah..., hlm.17.
[13]
Secara etimologis Nuba Nara berasal dari kata Tubak dan Tarak. Tubak artinya
menikam atau jatuh tertikam dari atas, dan Tarak artinya tertikam, mengarah ke
tempat datangnya tikaman atau dari mana datangnya kejatuhan. Dari sini dapat
dimengerti bahwa jurusan datangnya tikaman adalah langit, surga; sedangkan
tempat tikaman atau tujuan tikaman adalah bumi/dunia. Nuba adalah surga
yang menjatuhkan diri, turun ke dalam dunia; Nara adalah surga yang tinggal
tertanam dalam dunia dan menjadi satu dengan dunia. Nuba Nara juga
mengungkapkan keterpisahan surga dan bumi.hal ini terbaca dalam koda atau
ungkapan adat (sabda): Lera Wulan gikat
teti lodo hau,Tana Ekan tama lali gere haka. Taan one tou kirin ehan, puin taan
ro uin na, gahan taan ro kahana (surga turun dari atas, bumi naik dari
bawah, menjadi satu hati, satu kata, satu ikat, satu berkas, tak terurai, tak
terpisah-pisahkan.)